Kamis, 24 November 2016

FILSAFAT CINTA

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang . Allah berfirman:dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
mengatakan: dalam haditsnya dari shahabat Tsauban Rasulullah ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang menjawab:dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allahmengikuti Rasulullah maka kecintaankepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binRasulullah :Malik
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
berfirman:Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf:
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta
mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
menyatakan: “Dasar tauhid danAsy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Ketika seseorang seringsekali bercerita tentang kebenciannya pada sesuatu, apakah itu benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak cinta?
salah seorang tokoh besar, Fariduddin al Attar pernah bercerita, bahwa ada seorang tokoh (?) yang berkunjung ke tempat Robi’ah al adawiyah, ulama besar ahli mahabbah,
si tamu tersebut selama berada di tempat robiah yang diceritakan adalah betapa jeleknya dunia itu, betapa buruknya dunia itu, betapa menipunya dunia itu, dan betapa ia bencinya dunia itu.
Robi’ah tersenyum…
dan ketika si tamu itu berlalu, Sofyan At Tsauri, sahabat Robiah yang juga sedang berkunjung ke situ bertanya pada Robiah,”Benarkah orang itu benci kepada dunia?”
Robiah tersenyum dan berkata,”Bagaimana mungkin dia membenci dunia? yang ada di pikiran dan perasaannya hanyalah terisi dengan dunia dan urusannya”
Dzunnun al Mishri, satu waktu di datangi salah seorang muridnya,”ya Guru, kata muridnya, aku sudah beribadah kepada Tuhan selama 30 tahun yang menurutku aku juga sungguh2. Siang puasa, malah tahajud dan selain amalan wajib, yang sunnah2 juga aku kerjakan. tapi bukannya aku tidak puas dengan keadaanku, tetapi mengapakah tidak ada sedikitpun tanda2 yang datang dari Tuhan tentang apa yang telah aku lakukan ini?”
Dzunnun menjawab,”kalau begitu, nanti malam kamu makan yang banyak, dan jangan sholat isya”
Si murid agak heran juga mendengar saran gurunya, tapi ia mengangguk dan pulang.
Keesokan harinya, ia datang ke Dzunnun dan bercerita,
“Alhamdulillah guru, semalem saya mendapatkan tanda itu dari Allah swt, aku sudah menuruti saran guru untuk makan yang banyak, tetapi aku tidak tega untuk meninggalkan sholat wajib isya. Kemudian malam harinya, aku bermimpi di datangi oleh Rosulullah saw dan beliau bersabda,”wahai fulan, tenangkan hatimu, Allah mendengar, melihat dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Bersabarlah dan ikhlaslah.” dalam mimpi itu saya mengangguk, kemudian Rosulullah saw bersabda lagi,”Dan sampaikan pada Dzunnun Al Mishri bahwa Allah berpesan agar ia jangan menyarankan muridnya untuk tidak sholat isya”
Mendengar itu Dzunnun tertawa sampai keluar air matanya..
kemudian ia berkata,
“Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya”
Dan baru saja kemaren saya tertegun ketika membaca buku “Secret of Power Negotiating”, di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,”apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??” , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN…
Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya…
Seseorang bersyair..
“ya kekasih…dari pada engkau memalingkan wajahmu dariku, lebih baik, sakiti aku dan marahi aku dan bencilah aku…itu lebih baik..sebab kemarahanmu, dan kebencianmu, itu adalah salah satu bentuk kepedulianmu kepadaku”
hati seorang pecinta..
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai..
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya…
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya…
Wallahu a’lam.
  1.   KRITIK TERHADAP ETIKA KANT
Kritik dalam teori etika kant, saya rumuskan kedalam kelebihan dan kekurangan.  Jika dikatakan kelebihan, berati dalam hal ini saya setuju dengan beberapa prinsip yang terdapat di dalam etika Kant, dan dikatakan kelemahan jika menurut saya di dalamnya ada argumen kant yang kurang saya setujui.
kelebihan
  • Saya setuju dengan prinsip  imepratif kategoris Kant yang mengatakan : “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”. hal itu sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam agama. Bertindaklah sebagaimana kau juga ingin diperlakukan seperti itu. Janganlah kamu berbohong kepada orang lain jika kamu sendiri tidak ingin dibohongi orang lain. Sungguh prinsip ini sangat bernilai etik dan logis. Jika saja manusia menyadari akan prinsip ini mungkin tindakan kriminallitas dapat di minimalisasi atau bahkan tidak ada. Karena pada prinsipnya tidak ada orang yang mau dirugikan. Jika saja para pencuri menyadari akan hal ini, mungkin saja ia tidak akan melakukan tindak pencurian, karena dia sendiri juga tidak ingin barang-barangnya di curi oleh orang lain.
  • Saya juga setuju dengan prinsip good will yang dilandasi kewajiban yang mengatakan bertindaklah sesuai dengan kewajiban (duty). Prinsip ini sangat bernilai tinggi jika saja dapat diterapkan dalam beribadah. Semua orang dapat menjalani ibadah karena ibadah itu memang baik pada dirinya. Ia tidak lagi sholat karena semata-mata kewajiban yang di haruskan agama, tapi ia sholat karena ada otonomi kehendak dari dirinya sendiri  yang menganggap sholat itu baik hingga ia tergerak untuk melaksanakannya, tanpa keterpaksaan. Semua perbuatan baik dilakukan tanpa beban, tanpa mengharapkan konsekuensi pahala yang melimpah. Menurut saya inilah kelebihan dari etika Kant, sehingga bisa membuat semua orang melakukan tindakan dengan ikhlas.
Kekurangan
  • Dalam hal ini saya kurang setuju dengan penolakan Kant terhadap konsekuensi perbuatan. menurut saya, perlu juga kita memperhatikan konsekuensi dari perbuatan. Jujur memang baik, tapi ia juga harus disesuaikan pada tempatnya. Dalam agama islam, nyawa seseorang harus lebih di utamakan, bahkan kita dibolehkan memakan daging babi yang asalnya haram jika dalam kondisi terdesak, tak ada makanan lain selain daging babi, jika saya tidak makan daging ini maka saya akan mati. Begitu pula dalam hal ini kita boleh saya tidak berkata  jujur dalam keadaan terdesak. Misalnya saja kita berkata bohong demi keselamatan nyawa orangtua kita, menurut saya itu dibolehkan, sekali lagi karena saya merujuk kepada keselamatan nyawa seseorang yang memiliki nilai tertinggi daripda tindak berbohong itu sendiri. Jadi inilah kelemahan dari etika kant, kebenaran tidak selamanya absolut, tapi ia bisa saja relativ jika dihadapkan pada keadaan yang terdesak.


Imperatif Hipotesis dan Kategoris

Imperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) . perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.
Ada tigamacam perintah menurut Kant :
  1. Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan mengisi bensin terlebih dahulu
  2. Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas polusi, seperti sepeda.
  3. Keharusan kategoris.misalnya selalu berkata jujur, meskipun dalam keadaan terdesak.

Keharusan 1 dan 2 adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artikan jika anda ingin menghendaki x maka saya harus melakukan y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu sendiri. Inilah yang disebut kant dengan “imperatif hipotesis”. Sedangkan keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini mengharuskan kita untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat niscaya yang disebut juga “imperatif ketegoris”.
Salah satu bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah “ betindaklah secara moral !” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan, melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”[4]
Maxim (prinsip subjektif)
Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap  dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap  dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Dimanapun kita berada itu tidak terlepas dari suatu tindakan. Jenis tindakan apa yang kita pilih disesuaikan dengan keadaan. Kita melakukan tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan suatu perkara karena memang ingin membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang lain, jadi maksim itu dapat baik dan juga tidak baik.
Oleh karena itu untuk mengetahui prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban  yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang , semua mahluk rasional yang ada di dunia. imperatif ini disebut juga prinsip penguniversalisalian. Ia adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia memang dapat diberlakukan kepada semua orang.
Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris:
  1. Hukum universal
Mengingat kedaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi “ bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjdi hukum alam umum”
  1.  Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri
Imperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “ bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai sarana.”
Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita juga pastinya berinteraksi dengan orang lain  (hablumminannaas) yang mana kita harus perlakukan manusia dengan baik.
  1. Berbuat seperti dalam kerajaan Tuhan
Imperatif kategorisnya berbunyi “ semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.”
Dari berbagai prinsip dan landasan etika kant yang disebutkan di atas, Menurut saya, inilah peta pemikiran etika Kant :










ETIKA IMMANUEL KANT

DEONTOLOGY KANT
A.  GAMBARAN/ KONSEP Immauel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. menurutnya pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisisme yang dilawankan dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis beliau yang sangat luar biasa sangat memberikan sumbangan besar bagi dunia pengetahuan.
Untuk memahami konsep pemikiran Immanuel Kant dalam etika, alangkah baiknya jika kita juga sudah mengetahui metode yang di pakai Kant, yakni murni a priori. a priori berarti sebelum pengalaman. Dalam artian ia  masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran orang lain baik berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi metode Kant adalah murni  deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap pengalaman empiris. sehingga dalam persoalan etika ini memnurutnya prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali. Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “ authonomi kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Dan ia adalah satu-satunya sumber moralitas.[1]
Kant juga membagi akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni)dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru  pemikiran Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya.
Etika yang digagas Immanuel Kant berbeda sekali dengan yang digagas oleh filosof sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang  ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebhagiaan. Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan.[2]

  1. B.  PRINSIP DAN LANDASAN
Dalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
  • Prinsip good will
  • Konsep kewajiban (duty)
  • Imperative hipotesis dan kategoris
  • Prinsip subjektif/ maxim
Good Will (kehendak baik) & kewajiban (duty)
Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar.
Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia  tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk melakukan kewajiban.
Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant. [3] selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang  dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu ia termasuk sintesis a priori.
Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang berlangsung ujian di kelas, ada temanmu yang pintar dan ia ingin membantumu menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan kertas jawaban. Jika kamu menolak atau mengabaikannya, berarti kamu melakukan tindakan yang benar/ right. Meskipun mungkin saja kamu menolak menerima jawaban itu karena takut ketahuan guru. Mencontek adalah perbutan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilaimu tinggi. Kehendak baik lah yang  akan mendorong kita untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa bantuan contekan dari orang lain.
Di awal dijelaskan bahwa  Immanuel Kant bukanlah seorang consequentalist , dalam artian ia tidak melihat konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten bukan konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang , kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas, meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik padahal di dapatkan dari perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya, melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban.



ETIKA

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam etika
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Moral dan Hukum
Hukum dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga membutuhkan hukum agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]