Hubungan Rasio dengan Rasa
Rasio (akal) dan rasa
merupakan dua daya rohani manusia yang mengambil tempat yang berbeda dalam
perwujudannya (cara kerjanya). Akal
berpusat pada kepala sedangkan rasa pada dada. Tetapi antara rasa dengan rasio
sesungguhnya terdapat kaitan yang sangat erat, karena keduanya memang bersumber
dari substansi yang sama. Kalau bisa dikatakan bahwa akal dengan rasa itu
sesungguhnya bersaudara kembar yang mempunyai hubungan erat tetapi dapat
berjalan dan bekerja sendiri-sendiri karena antara keduanya tidak diusahakan
menghubungkannya.
Bilamana akal dilepaskan
bekerja sendiri tanpa dikaitkan dengan rasa maka ia akan melaju dengan sangat
cepat.
Rasa sebenarnya dapat
berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas
nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan. Karena yang dapat memutuskan
baik buruknya justru adalah rasa, yang biasa disebut denga rasa etik atau
dhamir (kata hati).
Rasa etik (dhamir) itu
sesungguhnya tidak pernah dusta, ia dapat memutuskan sesuatu dengan tepat
apakah itu baik atau buruk.tetapi karena kekuatan akal kadang-kadang terlalu
kuat untuk dipengaruhi oleh suara hati(rasa) maka akal tidak mampu lagi
mendengar bisikan rasa itu. Apalagi jika rasa tadi tidak pernah dipertajam
dengan latihan-latihannya sendiri, misalnya dengan pendekatan kepada Tuhan
melalui ibadah-ibadah, dzikir-dzikir dan lain-lain. Maka lama kelamaan rasa itu
tidak lagi berfungsi dan tidak mampu lagi membisikan tentang kebaikan dan
keburukan. Ia tidak lagi mampu melihat yang baik sebagai kebaikan, dan yang
buruk dengan keburukan. Bahkan lebih parah lagi jika rasa itu sudah menjadi
beku sehing apa yang baik dianggap nya buruk dan sebaliknya apa yang buruk
dianggapnya baik.