Jumat, 21 Oktober 2016

Hubungan Rasio dengan Rasa



Hubungan Rasio dengan Rasa
     Rasio (akal) dan rasa merupakan dua daya rohani manusia yang mengambil tempat yang berbeda dalam perwujudannya (cara kerjanya).  Akal berpusat pada kepala sedangkan rasa pada dada. Tetapi antara rasa dengan rasio sesungguhnya terdapat kaitan yang sangat erat, karena keduanya memang bersumber dari substansi yang sama. Kalau bisa dikatakan bahwa akal dengan rasa itu sesungguhnya bersaudara kembar yang mempunyai hubungan erat tetapi dapat berjalan dan bekerja sendiri-sendiri karena antara keduanya tidak diusahakan menghubungkannya.
     Bilamana akal dilepaskan bekerja sendiri tanpa dikaitkan dengan rasa maka ia akan melaju dengan sangat cepat.
     Rasa sebenarnya dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan. Karena yang dapat memutuskan baik buruknya justru adalah rasa, yang biasa disebut denga rasa etik atau dhamir (kata hati).
     Rasa etik (dhamir) itu sesungguhnya tidak pernah dusta, ia dapat memutuskan sesuatu dengan tepat apakah itu baik atau buruk.tetapi karena kekuatan akal kadang-kadang terlalu kuat untuk dipengaruhi oleh suara hati(rasa) maka akal tidak mampu lagi mendengar bisikan rasa itu. Apalagi jika rasa tadi tidak pernah dipertajam dengan latihan-latihannya sendiri, misalnya dengan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah-ibadah, dzikir-dzikir dan lain-lain. Maka lama kelamaan rasa itu tidak lagi berfungsi dan tidak mampu lagi membisikan tentang kebaikan dan keburukan. Ia tidak lagi mampu melihat yang baik sebagai kebaikan, dan yang buruk dengan keburukan. Bahkan lebih parah lagi jika rasa itu sudah menjadi beku sehing apa yang baik dianggap nya buruk dan sebaliknya apa yang buruk dianggapnya baik.


Islam dan Manusia



ISLAM DAN MANUSIA
     Manusia dalam pandangan Islam terdiri dari dua unsur, yaitu materi dan immateri. Tubuh manusia bersifat materi yang berasal dari tanah di bumi. Sedangkan roh manusia berasaldar substansi immateri di alam ghaib. Proses kejadian manusia disebukan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits dan telah dibuktikan kebenarannya secara ilmiah oleh Ilmu Pengetahuan Modern seperti yang diungkapkan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya yang telah diterjemahkan oleh DR. H.M. Rasjidi dengan judul “Bibel, Qur’an dan Sains Modern”  . ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan penciptaan manusia antara lain dalam surat Al-Mu’minun (23) ; 12-14 dan surat As-Sajdah (32) : 7-9. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa ketika masih berbentuk janin sampai umur empat bulan, embrio manusia itu belum mepunyai roh. Roh baruditiupkan ke janin itu setelah berumur 4 bulan (3 x 40 hari). Maka dapat dipahami dari nash inu bahwa yang menghidupkan tubuh manusia itu bukanlah roh seperti yang diperkirakan selama ini, tetapi kehidupan itu sendiri sudah ada semenjak manusia dalam bentuk nuthfah.
      Dari mana asal kehidupan itu, Ilmu Pngetahuan belum bisa menjawabnya secara ilmiah, tetapi bagi kaum muslimin percaya bahwa hayat (kehidupan) itu berasal dari Tuhan yeng telah mengatur ssedemikian rupa sehingga tubuh manusia itu memiliki hayat dan dapat berkembang.
      Jika hayat yang menyebabkan tubuh manusia bisa hidup dan berkembang telah tiada, maka itulah yang disebut mati dan saat itu roh pun meninggalkan tubuh manusia dan pergi ke alam ghaib yang bersifat immateri.
      Roh yang bersifat immateri itu mempunyai dua daya, yaitu daya pikir yang disebut akal dan berpusat di otak (kepala), serta daya rasa yang disebut (qalbu) keduanya bersifat immateri juga karena merupakan sunstansi dari roh manusia. Tetapi cara kerja kedua daya itu adalah dengan melalui tempat-tempat tertentu yaitu kepala dan dada.


Filsafat dengan Causa Prima



FILSAFAT DENGAN CAUSA PRIMA
      Pada masa itu filsafat sendiri dalam usahanya menunjukan apa yang terdalam dalam barang-barang,dalam manusia dan dunia, maka sampailah pada pengertian tentang sebab pertama (causa prima) pada yang mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama dan tujuan terakhir ini bukanlah hanya “sesuatu” melainkan suatu “zat yang maha sempurna”.dan ini sesuai dengan keyakinan yang hidup dalam hati setiap orang, bahwa ada sesuatu yang mengatasi manusia dan dunia, sesuatu yang lebih luhur,lebih tinggi dan lebih mendalam. Jadi filsafat sendiri menunjukan kepada “yang mengatasi segala-galanya” dan bersama-sama dengan itu mengakui batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan dengan “rahasia” tentang manusia dan dunia. Akan tetapi jika filsafat  berdasarkan dengan logika yang sehat dan tajam, mengatakan bahwa; “setiap orang wajib mengabdi kepada Tuhan, harus hiduo sebagai hamba Allah (dan ini berlaku umum, bagi setiap orang, demikian pula mereka yang tidak beragama) maka timbullah pertanyaan; “bagaimanakah tuntunan kodrat kita ini harus dilaksanakan dalam kodratnya?”
      Manakah cara yang harus dipakai, mana kah cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan? Sebab mengabdi ke Tuhan itu sudah seharusnya demikian kehendak Tuhan.
      Bagaimanakah pendapat kita terhadap seseorang “hamba” yang katanya mengabdi kepada kita tetapi tidak menurut perintah-perintah yang telah kita berikan kepadanya, melainkan semata-mata menurut kehendaknya sendiri belaka? Itu bukan mengabdi lagi! Begitu juga halnya mengabdi kepada Tuhan yaitu Allah, oleh manusia sebagai hamba Allah.



Filsafat Bersifat Eksistensial



FILSAFAT BERSIFAT EKSISTENSIAL
            Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang kita pelajari sekarang ini nampak sukar, karena memang mengandung pandangan-pandangan yang muluk-muluk yang dalam-dalam dan sukar dimengerti. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa filsafat itu lalu tidak ada artinya lagi bagi kita, malahan sebaliknya, karena yang dipersoalkan dalam filsafat itu ialah: diri kita sendiri.filsafat adalah “existensial” sifatnya, erat hubungannya dengan hidup kita sehari-hari, sengan adany manusia sendiri. Hidup kita sendiri yang memberikan bahan-bahan untuk direnungkan. Filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada manusia yang konkrit, pada diri kita yang hidup di dalam dunia dengan segala persoalan-persoalan yang kita hadapi.
Apabila dalam filsafat terdapat teori-teori yang muluk-muluk dan sukar maka hal itu maksud dan tujuannya tidak lain hanya ingin menerangkan kenyataan yang konkrit dan real yang kita alami di dunia ini.
Mengenai isi dari filsafat itu berbeda-beda menurut masa perkembangannya. Berganti-ganti yang dipersoalkan atau yang dititik beratkan ialah :
a.       Dunia yang mengelilingi kita
b.       Sikap hidup atau kesusilaan
c.       Hubungan antara manusia dengan Tuhan atau sikap religius.
d.       Struktur dan susunan pengetahuan dan sebagainya
Pada waktu sekarang ini banyak dititik beratkann pada sifat eksistensial bahwa kita dalam filsafat harus berpangkal pada situasi kita sendiri di dalam dunia ini. Justru sifat eksistensial ini yang dijadikan dasar aliran filsafat “eksistensialisme” yang berkembang pada abad ke-20 ini.
      Jadi filsafat adalah pernyataan atau penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati tiap orang. Makawalaupun tidak setiap orang menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau yang dipersoalkan dalam filsafat memang berarti bagi kita semua.
                                                                                    

Manusia



MANUSIA
Manusia adalah “Ens  Metaphysicum”
            Setelah menentukan definisi filsafat, sekarang kita ingin memperdalam pengertian filsafat, yaitu dengan menunjukan bagaimana filsafat itu timbul dari kodrat manusia, artinya asal ada manusia,  ada filsafat, karena sesuai kodratnya manusia itu.
Mengenai hal ini pokoknya telah diterangkan yaitu bagaimana keinginan akan mengerti, akan kebenaran, timbullah ilmu-ilmu pengetahuan dan akhirnya muncul filsafat. Akan tetapi pandangan ini masih kurang lengkap masih berat sebelah, seakan-akan filsafat hanya timbul bagi para ahli ilmu pengetahuan saja, dan sama sekali tidak berarti bagi mereka yang bukan ahli ilmu pengetahuan. Padahal dalam kenyataannya tidak semua orang adalah ahli ilmu pengetahuan. Sebaliknya setiap ahli pengetahuan itu pasti, bahkan pertama-tama adalah manusia. Dan justru kita ingin membuktikan bahwa filsafat itu timbul bagisetiap orang, asal saja ia hidup sadar dan menggunakan pikirannya.
Jadi marilah kita menyelediki kedudukan filsafat di dalam keseluruhan hidup kita, menyelidiki peran ilmu pengetahuan itu di dalam kehidupan manusia. Telah dikatakan; filsafat adalah bentuk pengetahuan tertentu, bahkan bentuk pengetahuan manusia yang tersempurna, merupakan perkembangan terakhir daripada pengetahuan biasa. Inilah yang sekarang harus diperdalam. Pengetahuan biasa tetap menjadi dasarnya,sekarang hanya ingin kami kemukakan beberapa aspek lain, selain ilmu-ilmu pengetahuan yang semuanya mendorong manusia ke arah filsafat. Hingga menjadi jelas bagi kita bahwa manusia memang betul-betul boleh disebut “ens metaphysicum”. Menurut Aristoteles artinya makhluk yang menurut kodratnya berfilsafat.
Jika memang demikian halnya, jika betul-betul setiap orang karena kodratnya terdorong akan filsafat maka apakah harus kita katakan bahwa setiap orang pastimenjadi seorang ahli filsafat? Apakah filsafat itu niscaya timbul? Jika demikian, mengapa tidak setiap orang tidak kita lihat bermenung-menung sebagai filsuf? Untuk menerangkan hal ini, maka kita harus membedakan antara;
-Filsafat sebagai ilmu pengetahuan
- Filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu dalam arti; usaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu.
Maka filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tersendiri itu tidak niscaya adanya, itu meminta tingkatan kebudayaan yang agak tinggi. Sebaliknya filsafat dalam arti yang lebih luas, dalam arti anasir-anasir filsafat dalam pikiran manusia itu dapatlah kita katakan tentu ada, biarpun hanya sedikit. Lagi pula dalam masyarakat yang tingkatannya berkembang kita jumpai pikiran-pikiran tentang ‘sebab dan akibat”, pandangan-pandangan tentang manusia, Tuhan dan dunia, pendapat-pendapat tentang hidup, tentang perbuatan-perbuatan manusia yang baik dan yang buruk atau etika dan lain-lain.