Rabu, 28 Desember 2016



Ini Pengertian Salaf, Khalaf dan Sufi
   

(Foto: Istimewa)


A A A
SALAF secara bahasa Arab artinya setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya (HR. Bukhari-Muslim). Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat, generasi tabiin dan generasi tabiut tabiin. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih.

Kemudian dalam bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ya yang di-tasydid dan di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Nimah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Imam Al-Bukhari memang berasal dari sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbatkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. (Lihat Kun Salafiyyan Alal Jaddah, hal. 10)

Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama mengikuti generasi awal umat Islam tadi, dengan sendirinya ia seorang Salafi. Baik dia berasal dari madzhab apapun dan ormas manapun (NU, Muhamadiyah, dst). Jadi salafi bukanlah terbatas kepada sekelompok umat Islam saja, akan tetapi semua muslim yang mengikuti apa yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan generasi setelahnya berhak menyebut dirinya salafi. Sedangkan salafiyah adalah metode/paham ajarannya. Orang yang mengikutinya disebut salafi, sebagaimana dijelaskan di atas.

Kemudian tentang khalaf. Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H setelah periode tabiut tabi'in. Ulama-ulama khalaf adalah penerus dakwah tabiut tabi'in. Selanjutnya mengenai Sufi. Istilah Sufi sebenarnya tidak dikenal pada zaman Nabi. Didalam Alquran maupun hadis sendiri kata-kata tersebut secara harfiah tidak ditemukan. Kebanyakan ahli menyatakan bahwa kata-kata tersebut secara lahiriah menunjukan sebutan gelar, sebab dalam perbendaharaan bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. Ada beberapa pengertian Sufi, yaitu:


Pertama, kata Sufi berasal dari pembendaraan bahasa Yunani, yaitu diambil dari kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Kata tersebut juga dtengarai sebaga asal kata filsafat. Pendapat ini sebenarnya datang dari pada orientalis. Mereka mengatakan ketika orang-orang berfilsafat dalam hal ibadah, mereka mengubahnya menjadi kalimat Sufi, yang kemudian menjadi sebutan bagi kaum yang suka beribadah dan untuk filsafat keagamaan. Jelasnya, sufi adalah sebuah kata yang dinisbatkan dengan filsafat ibadah.

Kedua, Sufi berasal dari kata Shaff , yang berarti barisan. Hal ini dimaksudkan bahwa para Sufi berada pada barisan pertama dihadapan Allah lantaran ketinggian iman dan takwanya. Ketiga, kata Sufi berasal dari kata Sufah. Kata ini merupakan julukan terhadap seorang laki-laki dijaman jahiliyah yang mengabiskan waktu untuk beribadah di sekeliling Ka'bah. Nama asli orang tersebut adalah Ghouts bin Mur. Adapun alasan kata Sufi disandarkan pada kata julukan tersebut adalah karena sisi karakteristik dari kehidupannya sama, yaitu sama-sama menghabiska waktu untuk ibadah.

Keempat, kata Sufi berasal dari kata Shuffah yang kemudian dinisbat den

Peradaban Islam, Sains, dan Khilafah

APA arti peradaban? Peradaban ialah keseluruhan prestasi dan hasil karya suatu bangsa atau masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah kota atau negara. Karena itulah peradaban itu identik dengan ‘Madīnah’ atau ‘civitas’ dalam bahasa latin yang mengisyaratkan terjadinya kesepakatan antar berbagai kelompok masyarakat untuk hidup bersama secara aman, damai, dan adil.

 Nikmati paket special Beverage Delivery, gratis OngkirPowered By Coca Cola


Maka suku-suku nomad tidak pernah melahirkan peradaban. Begitu pula suku-suku barbarian yang asyik berperang satu sama lain. Nah, prasyarat-prasyarat itulah yang dipenuhi oleh Rasulullah sesudah tinggal di Madinah. Mengikat tali kepentingan berbagai komponen –Arab Khazraj dan Aws, kaum Muhajirin dan Anshar, puak-puak Yahudi, Kristen, dan Majusi– dengan sebuah perjanjian semacam ‘social contract’.

Baru setelah itu kita saksikan peradaban Islam perlahan-perlahan muncul ke permukaan dan menjulang megah di panggung sejarah manusia dengan seabreg prestasi politik, militer, ekonomi, saintifik, kultural, dan sebagainya, yang terpancar dalam karya-karya sastra, filsafat, sains, teknologi, arsitektur, seni rupa, dan banyak lagi.

Mendiang Professor Arberry pernah mengatakan, ketika menjawab pertanyaannya sendiri: “What is meant by the term Islamic civilization?” bahwa peradaban Islam itu lahir dari perjalanan yang sangat panjang dan kekuatan yang sangat dahsyat (the long processes and the massive forces), di mana bangsa-bangsa hebat yang aslinya bermacam-macam dan berbeda-beda telah diikat oleh satu visi, satu misi, satu tradisi, dan satu jalan hidup (a powerful group of nations held closely together in the common bonds of a shared tradition and way of life, despite passing domestic differences). Lihat bukunya: Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts, hlm. 9 (London: Routledge, 1964).

Definisi yang lebih tegas diberikan oleh Profesor al-Attas dalam bukunya, Historical Fact and Fiction (Johor Bahru: Universiti Teknologi Malaysia Press, 2011), hlm. xv: “I define Islamic civilization as a civilization that emerges among the diversity of cultures of Muslim peoples of the world as a result of the permeation of the basic elements of the religion of Islam which those peoples have caused to emerge from within themselves. … It is a living civilization whose pulse describes a process of Islamization, … in the sense of an unfolding of the theoretical and practical principles of Islam in the life of the people, in the sense of an actualization of the essentials and potentials of Islam in the realms of existence. … Islamic civilization is therefore a manifestation of unity in diversity as well as of diversity in unity.”

Intinya bahwa Peradaban Islam itu adalah hasil dari proses kolektif-selektif-kreatif yang dinamakan Islamisasi. Sumber energinya adalah wahyu –yakni Kitābullāh dan Sunnah Rasululullah. Ini internalnya, sementara eksternalnya dari peradaban-peradaban asing. Terjadilah pengambilan, pengumpulan, penyaringan, dan rekacipta. Namun, unsur-unsur asing itu tidak hanya di-adopsi, tetapi juga di-adapsi, diterima dan diubah agar tidak bertentangan dengan tata nilai atau ‘worldview’ Islam. Maka peradaban Islam itu merupakan paduan keberagaman dan keberagaman terpadu, kata al-Attas.

Peradaban Islam saat ini memang tidak seperti dulu, karena umat Islam sedang terpecah-pecah menjadi banyak negara yang masing-masing punya pemerintahan dan kepentingan sendiri, ideologi dan visi sendiri-sendiri, di mana nasionalisme dikedepankan, sekularisme diutamakan, komunisme dirayakan, kapitalisme diterapkan, dan liberalisme ditanamkam. Umat Islam hanya tampak menyatu ketika tawaf di Ka‘bah atau wukuf di Arafah. Sementara di PBB jarang kompak. Dalam banyak isu lebih sering tidak sepakat.

Peradaban Islam saat ini ibarat piramid yang masih berdiri tegak namun banyak dindingnya mengalami erosi sejak lima ratus tahun

Teladan Pancasila


Pancasila bukanlah suatu lukisan yang sekadar enak dipandang, tetapi juga, menarik untuk diketahui lebih jauh makna filosofisnya. Pancasila, karena indahnya itu, dari dulu hingga sekarang, tetaplah cantik dan mengasyikan apabila dijadikan sebuah bahan perbincangan.

Pada era kemerdekaan, Bung Karno, menyebar-nyebarkan benih bahwa Pancasila adalah penuntun jalan bagi Indonesia dalam mengarungi bahtera hidup berkebangsaan. Soeharto kemudian melegalisasi dengan P4 atau dikenal lebih dengan sebutan Eka Prasetya Pancakarsa. P4 sendiri adalah kependekan dari Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila.

Di era global, Pancasila kemudian direduksi dan dicatut sebagai suatu hal yang mempengaruhi munculnya istilah Revolusi Mental. Revolusi Mental sendiri adalah sebuah gerakan perubahan tingkah laku menuju manusia paripurna, katanya.

Namun, miris bukan kepayang, semua hal itu belumlah menjadi nyawa dalam ruh-ruh manusia Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mampu untuk membendung kekerasan atas nama agama. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab belum bisa mengentikan penzaliman. Sila Persatuan Indonesia tak kunjung memberikan damai dalam pengaminnya. Sila permusyawaratan hanya sampai pada pemahaman suara mayorokrasi. Sila keadilan sosial belum jua mengikis yang ‘tajam ke bawah dan tumpul ke atas’.

Sekadarnya, Pancasila yang sakral itu kini hanya dikenal dalam balutan upacara bendera setiap hari Senin. Dibacakan dan lalu dilupakan, singkatnya. Pancasila yang agung itu sekedar sebagai sebuah pampangangan yang nganggur di ruang-ruang kantor Camat.

Apa itu Pancasila?
Jika sebatas kalimat sila, kita tidak perlu lagi menjabarkannya. Selain terlalu panjang, cukup memakan waktu juga karena memberitahu apa yang sudah sewajibnya diketahui. Karena itu, jawaban mengenai “apa itu Pancasila” akan diarahkan lebih kepada aspek dan pembentukannya.

Suatu malam menjelang 1 Juni 1945, dikabarkan bahwa Soekarno tidak bisa tidur. Dia mondar-mandir, sliwar-sliwer melamunkan suatu dasar negara yang tidak hanya bisa digunakan untuk “satu, lima atau sepuluh tahun sahaja, tetapi suatu dasar negara yang digunakan untuk selama-lamanya.....”

Kata Yudi Latif, hal yang akan dilakukan Soekarno esok hari itu amatlah berisiko betul. Hal itu ditengarai oleh sebab perbedaan pandangan yang tajam dan juga pada waktu itu Jepang belum sepenuhnya ikhlas melihat Indonesia merdeka. Tetapi Soekarno tidak gentar, dia katakan pada dirinya sendiri “saya tahu risikonya, sebagai seorang pemimpin, tunaikan kewajibanmu, jangan pernah hitung-hitung akibatnya !!!!”

Dari situ kita dapat mengambil pelajaran pertama, bahwasanya Pancasila lahir dalam penghayatan yang tulus. Pancasila tumbuh bukan oleh keadaan yang terpaksa tetapi dengan bertunas penuh keyakinan yang besar. Dan, Pancasila sebagai jati diri yang tidak fakultatif tetapi absoulut atau kudu.

Pancasila, jelas sekali disitu, bukan sebuah pledoi. Pancasila juga, dalam mozaik kisah tersebut, bukan sebuah konfrontasi. Pancasila, senyatanya, adalah alat pemersatu yang kata Bung Karno “digali dari nilai luhur yang terjauh di Indonesia”.

Inti pokok Pancasila
Setelah merunutkan napas, eloklah sudah kita merinci setiap inti pasalnya.

Yang pertama, sebelum pada akhirnya menjadi sususan seperti saat ini dimana ayat pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan terakhir “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, Pancasila mengawali pesan heroiknya dengan Nasionalisme. Nasionalisme bagi Bung Karno penting, karena hanya rasa kebangsaan adalah pemersatu suku-suku dan budaya serta lainnya.

Butir kedua, Soekarno mencatut Ghandi soal nasionalisme yang bertumpu pada kemanusiaan.

Berlanjut yang ketiga, kemanusiaan itu menuntut suatu penyadaran. Penyadaran Pancasila mirip seperti penyadaran dalam arti Hans Khung, yaitu, pertama: jangan melakukan apa yang tidak ingin orang lakukan kepadamu. Kedua: cintailah sesamu seperti engkau mencintai diri

Kehidupan & Manusia

Kehidupan adalah ciri yang membedakan objek yang memiliki isyaratdan proses penopang diri 9organisme hidup; dengan objek yang tidak memilikinya, baik karena fungsi-fungsi tersebut telah mati atau karena mereka tidak memilikifungsi tersebut dan diklasifikasikan sebagai benda mati.(anusia secara bahasa berasal dari kata =manu> 9Sansekerta;, =mens>9Oatin;, yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi9mampu menguasai makhluk lain;. (anusia merupakan Koon politicon yang berarti bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya suka bergaul satu sama lain, makamanusia disebut makhluk social. ?akikat manusia yaitu makhluk yang memilikitenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, indi@idu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atastingkah laku intelektual dan social, yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuanyang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukannasibnya, makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembangtidak pernah selesai 9tuntas; selama hidupnya, indi@idu yang dalam hidupnya selalumelibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantuorang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati, suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas, makhluk &uhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandungkemungkinan baik dan jahat, indi@idu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan


turutama lingkungan sosial bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai denganmartabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.Sehingga, kehidupan manusia adalah segala proses dan akti@itas yangdilakukan manusia selama ia masih hidup. roses merujuk pada pertumbuhanmanusia dari ia lahir hingga ia meninggal, sedangkan akti@itas merujuk padakegiatan yang dilakukan manusia selama ia hidup sejak lahir sampai meninggal.

Pengaruh Filsafat Terhadap Kehidupan Manusia

Bagi manusia, berfilsafat berarti mengatur hidup yang senetral-netralnyadengan perasaan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab terhadap dasar hidup yangsedalam-dalamnya, baik &uhan, alam, atau pun kebenaran. adhakrishnan dalam bukunya, ?istory of hilosophy, menyebutkan &ugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju.Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukanarah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinankepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yangmenjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan nationM, ras, dan keyakinankeagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak uni@ersal, baik dalamruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantuorang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matangsecara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang,asal kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang,yang sempit dan yang dogmatis. Urusan 9concerns; utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pe

Hasan Ibn al-Haytham
(Alhazen)

Alhazen (Ibn al-Haytham)
Lahir kr. 965 CE[1](354 AH)[2]
Basra, Buyid Emirate
Meninggal
[[{{{3}}} Parameter salah (harus 1 — 12)]] [[1040

]] (umur Kesalahan ekspresi: Operator < tak terduga) (75 tahun)[3](430 AH)[4]
Cairo, Fatimid Caliphate
Tempat tinggal
Basra Cairo
Bidang
Optics Astronomy Mathematics
Dikenal karena Book of Optics, Doubts Concerning Ptolemy, Alhazen's problem, Analysis,[5] Catoptrics,[6] Horopter, Moon illusion, experimental science, scientific methodology,[7] visual perception, empirical theory of perception, Animal psychology[8]
Dipengaruhi Aristotle, Euclid, Ptolemy, Galen, Banū Mūsā, Thābit ibn Qurra, Al-Kindi, Ibn Sahl, Abū Sahl al-Qūhī
Memengaruhi Omar Khayyam, Taqi ad-Din Muhammad ibn Ma'ruf, Kamāl al-Dīn al-Fārisī, Averroes, Al-Khazini, John Peckham, Witelo, Roger Bacon[9]
Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (Bahasa Arab:ابو علی، حسن بن حسن بن الهيثم) atau Ibnu Haitham (Basra,965 - Kairo 1039), dibarat lebih dikenal dengan nama Alhazen. Adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penelitian mengenai cahaya, dan telah memberikan banyak inspirasi pada ahli sains barat, seperti Roger Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop..

ILMU-ILMU YANG MENDASARI IJTIHAD

Ilmu-ilmu iktisabi atau kasbi (yang diperoleh lewat pencarian) sebagai dasar ijtihad adalah sebagai berikut:


1. Bahasa (gramatika seperti Nahwu dan Sharf) dan sastra Arab (seperti Balaghah yang terdiri dari ilmu Bayan, Ma'ani, Badi').

Ilmu Sharf adalah ilmu tentang perubahan bentuk sesuai dengan waktu; lampau, sedang (berlangsung), perintah, kata kerja, kata pelaku dan sebagainya. Ilmu Nahwu adalah ilmu tentang perubahan akhir huruf setiap kata (dan jumlah kata) seperti mubtada', fa'il, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah penting di dalamnya. Ilmu Balaghah adalah ilmu kesusasteraan. Ilmu Bayan adalah ilmu cabang dari ilmu Balaghah yang mempelajari cara berkomunikasi dan tutur kata supaya dipahami dengan sempurna. Ilmu Ma'ani adalah ilmu yang mengajarkan teknik memperindah bahasa dan kata, bersyair, menyusun puisi dan sebagainya.

Ilmu Bahasa dan Satra Arab sangat diperlukan calon mujtahid, mengingat sebagian besar hukum syari'at hanya dapat ditemukan dan disimpulkan melalui pemahaman dan penguasaan arti yang tersurat (lahiriah) atau yang tersirat (batiniyah) dari ayat-ayat Al Qur'an dan riwayat-riwayat hadits. Bahasa Arab -sebagaimana bahasa-bahasa lain- sebagai media komunikasi populerjuga tidak terlepas dari kontaminasi. Dengan demikian ilmu Bahasa dan Satra Arab wajib dipelajari dan dikuasai calon mujtahid, siapa pun dia, bangsa arab atau bukan.


2. Ushulul-Fiqh (ilmu dasar-dasar penyimpulan hukum).

Ilmu dasar-dasar hukum syari'at ini dalam syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani) terletak sebagai proposisi mayor (al qadhiyah al kubra), sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu logika (manthiq). Ilmu inilah yang menentukan benar atau tidaknya suatu teks riwayat yang akan digunakan sebagai dasar penyimpulan hukum. Ilmu ini bersifat shopistik dan tidak mengandung arti.


3. Ilmu Dirayah (ilmu tentang riwayat serta kategori-kategorinya) dan ilmu Rijal (ilmu tentang identitas para pembawa riwayat).

Karena sebagian besar riwayat-riwayat yang mengisi khazanah periwayatan umat (Imamiah) termasuk dalam kategori ahad (periwayatan individual) dan bukan kategori mutawatir (periwayatan kolektif) baik dari segi matn (teks) maupun sanad (perawi), maka calon mujtahid harus menguasai ilmu rijal dan ilmu dirayah.

Studi terhadap riwayat dan berbagai macamnya secara mendasar sangat diperlukan karena secara global didapati adanya riwayat yang tidak sahih dalam khazanah hadits umat Islam. Bila seorang mujtahid telah mengetahui secara rinci dan mendapat kemantapan akan keshahihan sebuah (beberapa) riwayat, maka dia bisa menjadikannya sebagai sumber penyimpulan hukum syar'i. setelah memastikannya sebagai ucapan Nabi atau Imam.


4. Ilmu Manthiq (Logik), yaitu ilmu tentang teknik berfikir yang benar.

Seorang faqih sangat perlu mengetahui beberapa pembahasan ilmu ini yang erat kaitannya dengan tujuan penyimpulan, seperti pembahasan-pembahasan mengenai syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani), pembahasan tentang pembagian dan sebagainya.


5. Ilmu Matematika.

Ayatollah Muhammad Baqir Shadr mengategorikan sebagai salah satu landasan ijtihad. Dalam bukunya yang berjudul "Al Ushul Al Manthiqiyah Li Al Istiqra" (dasar-dasar rasional induksi) beliau memasukkan hitungan perkiraan-perkiraan matematika rasional dalam pembahasan-pembahasan ushul, seperti pembahasan-pembahasan tentang ijma', syuhrah dan sebagainya. Itulah sebabnya, dimasa mendatang Ilmu Matematika akan menjadi salah satu ilmu yang mendasari ijtihad, insya Allah.

Tindakan Sayyid Muhammad Baqir Shadr ini mirip dengan langkah Al Muhaqqiq Husein Al Khunsari (wafat tahun 1098 H) yang memasukkan pemikiran-pemikiran filosofis Islam ke dalam pembahasan-pembahasan Ushul-Fiqh, dalam bukunya " Al Masyariq Asy-sumus fi Syarhi Ad Durus". Pada awalnya buku itu mendapat kritikan dari para pendukungnya yang kemudian mereka kembangkan hingga menjadi konsensus dan disahkan.

Kelima macam ilmu diatas merupakan unsur-un

Ilmu Pengetahuan pada Masa Abbasiyah


1. Astronomi
Ilmu astronomi, dalam Islam disebut ilmu falak. Ilmu astronomi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit, seperti matahari, bulan bintang dan planet-planet lain. Ilmu ini ditemukan dalam waktu lama, sekitar 3000 tahun SM di Babylonia. Dalam perkembangan ilmu astronomi, muncullah sistem penanggalan.
Pentingnya ilmu astronomi, karena sangat mendukung penentuan waktu ibadah, terutama waktu salat, penentuan arah kiblat dan penanggalan Qamariyah.  Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur ketika menentukan letak ibukota yang ingin dibangunnya, menggunakan bantuan ilmu astronom. Beliau banyak dibantu oleh ahli astronomi dari India.
Ilmuwan muslim mendirikan observatorium yang dilengkapi peralatan yang maju. Di antara ilmuwan muslim dalam bidang ini adalah Ibrahim Al-Fazari (penemu astrolob/ alat pengukur tinggi dan jarak-jarak bintang), Nasiruddin Al-Thusi (pendiri Observatorium di Maragha, Asia kecil), dan Ali bin Isa Al-Usturlabi, tokoh pertama penulis risalah astrolobe. Selain itu juga muncul tokoh ilmu falak yaitu Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, yang juga ahli dalam bidang matematika.

2. Kedokteran
Pada masa Dinasti Abbassiyah, ilmu kedokteran mendapatkan perhatian paling besar. Semua khalifah memiliki dokter pribadi. Dokter-dokter yang pada awalnya adalah ahli zimmah ini, banyak berjasa dalam menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa non-Arab. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid, tercatat sebanyak 800 orang dokter, yang mencerminkan kemajuan pengetahuan dalam bidang kedokteran.
Pada tahun 865 M, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur meminta para dokter dari Jundisapur untuk mengobati sakitnya, yaitu dizpepsia (radang selaput lendir lambung). Dokter Jirjis Bukhtyshuri berhasil mengobati penyakit tersebut, sehingga khalifah memindahkan pusat kedokteran dari Jundisapur ke Bagdad.
Pada masa dinasti Abbasiyah didirikan rumah sakit yang juga dijadikan sebagai pusat kegiatan pengajaran ilmu kedokteran, sedangkan teorinya diajarkan di masjid dan madrasah. Ali bin Rabban at-Tabbari adalah orang pertama yang mengarang buku kedokteran yiatu Firdaus al-Hikmah (850 M).
Ilmuwan muslim yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah Ibnu Sina (Abu Ali Husain bin Abdillah (370 – 439 H/980 – 1037 M). Dalam bidang ini, ia berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Dia menjadi terkenal, karena bukunya diterjemahkan di Eropa pada pertengahan kedua bad 15 M dan dijadikan pegangan dalam bidang kedokteran hingga sekarang. Dia adalah pengarang buku kedokteran Qanun fi al-Thibb.

3. Matematika
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (194 – 266 H) adalah tokoh ilmuwan matematika yang menyusun buku aljabar, yaitu Al-Jabr wal-Muqabalah. Beliau juga menemukan angka nol. Angka 1 s.d 9 berasal dari India yang dikembangkan oleh dunia Arab, sehingga angka ini disebut dengan Angka Arab, kemudian setelah dipopulerkan oleh bangsa latin disebut angka latin.
Umar Khayyam (1048 – 1131 M) mengarah buku tentang aljabar, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh F. Woepeke (1857), yaitu Reatise on Algabera.

4. Filsafat
Ilmu filsafat banyak diterjemahkan dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan antara lain Categories, Pyssices dan Makna Maralia karya Aristoteles. Republik, Laws, da Timaeus karya Plato. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, menerjemahkan dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai ajaran Islam, sehingga muncul ilmu filsafat Islam. Ilmu filsafat Islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat yang ada, sebab asal dan hukumnya atau ketentuan-ketentuannya berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis.
Setelah penerjemahan buku-buku filsafat, dalam kurun waktu 50 tahun muncullah tokoh-tokoh filsafat Islam. Tokoh-tokoh filsafat yang dikenal pada masa ini, yaitu Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Rusyd.
Al-Kindi yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak AL-Kindi

Keseimbangan Matematika dalam Alquran & Sejarah Angka di Dunia

Penyebutan angka atau bilangan dalam Alquran, tujuannya agar menjadi ujian bagi orang kafir dan bertambahnya keimanan bagi orang yang beriman.
''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.'' (QS Ali Imran: 190).''Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).'' (QS Yunus: 5).

''Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang Mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): 'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?
' Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.'' (QS Muddatstsir: 31). ''Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain'." (QS Al-Israa: 88).
Ayat-ayat di atas merupakan beberapa contoh yang disebutkan Allah dalam Alquran mengenai keberadaan angka-angka (bilangan). Tujuannya agar manusia itu menggunakan akalnya untuk berpikir dan meyakini apa yang telah diturunkan, yakni Alquran. Allah menciptakan alam semesta ini dengan perhitungan yang matang dan teliti. Ketelitian Allah itu pasti benar. Dan, Dia tidak menciptakan alam ini dengan main-main. Semuanya dibuat secara terencana dan perhitungan.
Abah Salma Alif Sampayya, penulis buku Keseimbangan Matematika dalam Alquran , menyatakan, bilangan adalah roh dari matematika dan matematika merupakan bahasa murni ilmu pengetahuan ( lingua pura ). Setiap bilangan memiliki nilai yang disebut dengan angka. Peranan matematika dalam kehidupan pernah dilontarkan oleh seorang filsuf, ahli matematika, dan pemimpin spiritual Yunani, Phitagoras (569-500 SM), 10 abad sebelum kelahiran Rasulullah SAW. Phitagoras mengatakan, angka-angka mengatur segalanya.
Kemudian, 10 abad setelah kelahiran Rasulullah SAW, Galileo Galilea (1564-1642 M), mengatakan: Mathematics is the language in which God wrote the universe (Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan dalam menulis alam semesta).Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempercayai kekuatan angka-angka (bilangan) di dalam kehidupan. Senada dengan pendapat Galileo, Carl Sagan, seorang fisikawan dan penulis novel fiksi ilmiah, mengatakan, matematika sebagai bahasa yang universal.
Dalam Alquran disebutkan sejumlah angka-angka. Di antaranya, angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 19, 20, 30, 40, 80, 100, 200, 1000, 2000, 10 ribu, hingga 100 ribu. Penyebutan angka-angka ini, bukan asal disebutkan, tetapi memiliki makna yang sangat dalam, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya, ketika ada yang bertanya mengenai jumlah penjaga neraka Saqar, dalam surah al-Muddatstsir ayat 31 disebutkan sebanyak 19 orang. Allah menciptakan langit dan bumi selama enam masa. Tuhan adalah satu (Esa), bumi dan langit diciptakan sebanyak tujuh lapis, dan lain sebagainya.
Penyebutan angka-angka ini, menunjukkan perhatian Alquran terhadap bidang ilmu pengetahuan, khususnya matematika. Yang sangat menakjubkan, beberapa angka-angka yang disebutkan itu memiliki keterkaitan antara yang satu dan lainnya. Bahkan, di antaranya tak terpisahkan. Begitu juga, ketika banyak ulama dan ahli tafsir


Al Khawarizmi Bapak Matematika (Aljabar)


Patung perunggu Al Khawarizmi di Uzbekistan.

Nama lengkapnya, Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa Al Khawarizmi, lahir di Khawarizm (Kheva, sekarang Usbekistan) sekitar 780 M. Menjelang dewasa ia pindah ke Bagdad-Irak untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pada masa itu kota Bagdad – Irak berada dalam masa cemerlang sebagai pusat ilmu penetahuan.
DI mata sejarah, Baghdad adalah kota yang luar biasa berharga bagi umat manusia. Sebab, tak hanya molek dan menyimpan kekayaan peradaban masa silam, Baghdad juga menjadi saksi tingginya kebudayaan dan semangat keilmuan yang membawa umat manusia ke era kemajuan sains dan filsafat. Puncaknya, boleh dikata, terjadi pada saat khalifah kelima dinasti ini, Khalifah Harun ar-Rasyid berkuasa, .seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal.

Tak berapa lama setelah naik tahta, Harun ar-Rasyid mendirikan Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah ini merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi. Dalam kurun dua abad, Bait al-Hikmah ternyata berhasil melahirkan banyak pemikir dan intelektual Islam. Di antaranya, nama-nama ilmuwan seperti Al-Khwarizmi dan Al-Battani.

Dengan meninggalkan karya-karya besarnya sebagai ilmuwan terkemuka dan terbesar pada zamannya, Al-Khwarizmi meninggal pada tahun 262 H/846 M di Bagdad.

Al Khawarizmi adalah penulis kitab aljabar (matematika) pertama di muka bumi.

Al Khawarizmi adalah seorang ilmuan jenius pada masa keemasan Baghdad yang sangat besar sumbangsihnya terhadap ilmu aljabar dan aritmetika. Karyanya, Kitab Aljabr Wal Muqabalah (Pengutuhan Kembali dan Pembandingan) merupakan pertama kalinya dalam sejarah dimana istilah aljabar muncul dalam kontesk disiplin ilmu. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal tersebut. Karangan itu sangat populer di negara-negara barat dan diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Italia. Bahasan yang banyak dinukil oleh ilmuwan barat dari karangan Al-Khawarizmi adalah tentang persamaan kuadrat.

Sumbangan Al-Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung tangen telah membantu para ahli Eropa memahami lebih jauh tentang ilmu ini. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.

Selain mengarang Al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, ia juga diketahui telah menulis beberapa buku dan banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, satu diantaranya berjudul Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi (Menambah dan Mengurangi dalam Matematika Hindu), hanya dikenal dari translasi berbahasa latin. Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.

Kedua karya tersebut banyak menguraikan tentang persamaan linier dan kuadrat; penghitungan integrasi dan persamaan dengan 800 contoh yang berbeda; tanda-tanda negatif yang sebelumnya belum dikenal oleh bangsa Arab. Dalam Al-Jama’ wa at-Tafriq, Al-Khwarizmi menjelaskan tentang seluk-beluk kegunaan angka-angka, termasuk angka nol dalam kehidupan sehari-hari. Karya tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin

Al Khawarizmi bapak algoritma.

Dalam bidang aritmetika, Al-Khawarizmi menulis kitab Al-Jam wal Tafriq bi Hisab al-Hid (Book of Addition Substraction by the Methode Calculation). Edisi asli berbahasa Arab telah hilang, tapi versi lainnya ditemukan pada tahun 1857 di perpustakaan Universitas Cambridge. Karya Al-Khawarizmi itu dikenal sebagai buku pelajaran pertama yang ditulis dengan menggunakan sistem bilangan desimal. Meskipun masih bersifat dasar, ini merupakan titik awal penyeimbangan ilmu matematika dan sains. Terminologi algoritma, mungkin bukan sesuatu yang asing bagi kita Di Eropa, karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai Alchwarizmi, Alkarismi, Algorithmi, Algorismi. Di lit

 Spektrum Mengenal Filsafat Islam, Tokoh dan Pemikirannya




Jika kita bicara soal filsafat Islam tentunya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil upaya manusia yang berkesinambungan di seluruh semesta alam. Akan tetapi, berpikir filsafat dalam pengertian berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.
Oleh karenanya, sebelum kita membahas lebih jauh tentang filsafat Islam secara khusus, ada baiknya jika kita me-remind terlebih dahulu pengetahuan kita tentang filsafat secara umum.
Tahap berikutnya kita akan membahas lebih mendalam apa itu filsafat Islam, apa saja obyek yang menjadi topic bahasannya, serta tokoh-tokoh di dunia filsafat Islam dan pemikirannya. Di bagian akhir kita akan membahas tentang metodologi kajian filsafat Islam agar kita mendapatkan hasil kajian yang agak mendalam tentang filsafat Islam itu sendiri.

Pengertian Filsafat

Filsafat, sebagaimana diulas K. Bertens (1984: 13), juga Sirajudin Zar, 2012: 2), adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo berarti cinta (loving), sedangkan Sophia atau sophos artinya pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom).
Dengan demikian, secara sederhana filsafat adalah cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian pula yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam hingga ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar. (Zar, 3).
Dalam perkembangan selanjutnya, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Karenanya, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsafat. (Harun Nasution, 1973: 7). Kata filsafat pun yang kemudian dipakai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 342).
Lalu, siapakah orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat? Dialah Pythagoras (w. 497 M). mulanya, kata ini digunakannya sebagai reaksi terhadap orang yang menamakan dirinya ahli pengetahuan. Manusia, menurut Pythagoras, tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara keseluruhan meski akan menghabiskan semua umurnya. Oleh karena itu, yang lebih tepat bagi manusa adalah pencinta pengetahuan (filosof). Hal ini mengacu pada ungkapan Pythagoras sendiri,
“Aku tidaklah ahli pengetahuan, karena ahli pengetahuan itu khusus bagi Tuhan saja. Aku adalah filosof, yakni pecinta ilmu pengetahuan.” (Zar, 3).
Namun, jika kita telusuri lebih cermat, kata filsafat popular pemakaiannya sejak masa Sokrates dan Plato. (Bertens, 13). Tetapi yang pasti, kata filsafat ini telah ada sejak masa filosof Yunani.
Dalam sejumlah buku atau referensi akan kita temukan pelbagai definisi filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keragaman tujuan. Dari situlah kemudian, secara simple dapat diuraikan, bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).
Mengacu pada pemaparan di atas, maka kita dapat mencermati bahwa berfikir dilsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal. Berfikir rasional mutlak diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara logis. Jika diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premis-premis.” (Louis O. Kattsoff, 1986: 10-11). Sistematis artinya, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika.
Pada dasarnya berfikir fil