Rabu, 28 Desember 2016
Teladan Pancasila
Pancasila bukanlah suatu lukisan yang sekadar enak dipandang, tetapi juga, menarik untuk diketahui lebih jauh makna filosofisnya. Pancasila, karena indahnya itu, dari dulu hingga sekarang, tetaplah cantik dan mengasyikan apabila dijadikan sebuah bahan perbincangan.
Pada era kemerdekaan, Bung Karno, menyebar-nyebarkan benih bahwa Pancasila adalah penuntun jalan bagi Indonesia dalam mengarungi bahtera hidup berkebangsaan. Soeharto kemudian melegalisasi dengan P4 atau dikenal lebih dengan sebutan Eka Prasetya Pancakarsa. P4 sendiri adalah kependekan dari Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila.
Di era global, Pancasila kemudian direduksi dan dicatut sebagai suatu hal yang mempengaruhi munculnya istilah Revolusi Mental. Revolusi Mental sendiri adalah sebuah gerakan perubahan tingkah laku menuju manusia paripurna, katanya.
Namun, miris bukan kepayang, semua hal itu belumlah menjadi nyawa dalam ruh-ruh manusia Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mampu untuk membendung kekerasan atas nama agama. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab belum bisa mengentikan penzaliman. Sila Persatuan Indonesia tak kunjung memberikan damai dalam pengaminnya. Sila permusyawaratan hanya sampai pada pemahaman suara mayorokrasi. Sila keadilan sosial belum jua mengikis yang ‘tajam ke bawah dan tumpul ke atas’.
Sekadarnya, Pancasila yang sakral itu kini hanya dikenal dalam balutan upacara bendera setiap hari Senin. Dibacakan dan lalu dilupakan, singkatnya. Pancasila yang agung itu sekedar sebagai sebuah pampangangan yang nganggur di ruang-ruang kantor Camat.
Apa itu Pancasila?
Jika sebatas kalimat sila, kita tidak perlu lagi menjabarkannya. Selain terlalu panjang, cukup memakan waktu juga karena memberitahu apa yang sudah sewajibnya diketahui. Karena itu, jawaban mengenai “apa itu Pancasila” akan diarahkan lebih kepada aspek dan pembentukannya.
Suatu malam menjelang 1 Juni 1945, dikabarkan bahwa Soekarno tidak bisa tidur. Dia mondar-mandir, sliwar-sliwer melamunkan suatu dasar negara yang tidak hanya bisa digunakan untuk “satu, lima atau sepuluh tahun sahaja, tetapi suatu dasar negara yang digunakan untuk selama-lamanya.....”
Kata Yudi Latif, hal yang akan dilakukan Soekarno esok hari itu amatlah berisiko betul. Hal itu ditengarai oleh sebab perbedaan pandangan yang tajam dan juga pada waktu itu Jepang belum sepenuhnya ikhlas melihat Indonesia merdeka. Tetapi Soekarno tidak gentar, dia katakan pada dirinya sendiri “saya tahu risikonya, sebagai seorang pemimpin, tunaikan kewajibanmu, jangan pernah hitung-hitung akibatnya !!!!”
Dari situ kita dapat mengambil pelajaran pertama, bahwasanya Pancasila lahir dalam penghayatan yang tulus. Pancasila tumbuh bukan oleh keadaan yang terpaksa tetapi dengan bertunas penuh keyakinan yang besar. Dan, Pancasila sebagai jati diri yang tidak fakultatif tetapi absoulut atau kudu.
Pancasila, jelas sekali disitu, bukan sebuah pledoi. Pancasila juga, dalam mozaik kisah tersebut, bukan sebuah konfrontasi. Pancasila, senyatanya, adalah alat pemersatu yang kata Bung Karno “digali dari nilai luhur yang terjauh di Indonesia”.
Inti pokok Pancasila
Setelah merunutkan napas, eloklah sudah kita merinci setiap inti pasalnya.
Yang pertama, sebelum pada akhirnya menjadi sususan seperti saat ini dimana ayat pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan terakhir “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, Pancasila mengawali pesan heroiknya dengan Nasionalisme. Nasionalisme bagi Bung Karno penting, karena hanya rasa kebangsaan adalah pemersatu suku-suku dan budaya serta lainnya.
Butir kedua, Soekarno mencatut Ghandi soal nasionalisme yang bertumpu pada kemanusiaan.
Berlanjut yang ketiga, kemanusiaan itu menuntut suatu penyadaran. Penyadaran Pancasila mirip seperti penyadaran dalam arti Hans Khung, yaitu, pertama: jangan melakukan apa yang tidak ingin orang lakukan kepadamu. Kedua: cintailah sesamu seperti engkau mencintai diri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar