Minggu, 27 November 2016

 Filsafat Hukum keluarga islam


 Pengertian Hukum Islam
          Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqih, hukum Allah Swt dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata-kata hukum Islam itu sendiri merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari litertur Barat[1], kemudian Hukum Islam menjadi istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah                   al-Islamy yang penjabarannya disebut dalam istilah fiqihnya sebagai :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ اَوْ فقيه عنه
Artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya ” .
 Atau dengan istilah yang lainya :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ شَيْئٍ
Artinya ”  Menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain ”.
          Maka para ulama ushul fiqih menetapkan suatu definisi hukum Islam antara lain :
١. خِطََابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ بِالاْ ِقْتِضَاءِ
 اَوِ التَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ
Artimya : “ Firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadl’i ” [2]. 

٢. خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوِ التَّخْيِيْرِ            اَوِ الْوَضْعاً
Artinya : “ Khitab ( tatah ) Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan ( perintah dan larangan ) atau semata-mata menerangkan pilihan ( kebolehan memilih ) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum “[3].
           Dengan demikian, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari Syari’ah dan Fiqihsekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari Syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah Swt sebagai al-Syar’i[4]. Oleh karena itu, penyebutan Hukum Islam sering dipakai sebagi terjemahan dari Syari’at Islam atau Fiqih Islam.
          Apabila Syari’at Islam diterjemahkan sebagai Hukum Islam ( Hukum in abstracto ), maka berarti syari’at Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian Syari’at Islam meliputi aspek اَلاْ ِعْتِقَادِيَة , الخاقية dan الشرعية .  Akan tetapi sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari Fiqih Islam, maka hukum Islam termasuk kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. Sedangkan pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqih maupun belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqih islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto( pada tataran fatwa atau doktrin ) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto ( pada tataran aplikasi atau pembumian ). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan negara yang mengikat dalam suatu negara. Namun demikian, agar mendapatkan pemahamana yang benar tentang hukum Islam, maka yang harus dilakukan menurut Muhammad Daud Ali adalah sebagai  berikut :
a. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran dinul Islam.
b. Menempatkan hukum Islam dalam satu kesatuan :
احكام الشرعية العملية , احكام الشرعية العملية الا عتقادية , احكام الشرعية الخاقية
c. Dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan Fiqih yang walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
d. Dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertical maupun horizontal[5].
          Dengan paparan tersebut diatas, maka Istilah hukum Islam telah dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya ” Pengantar Hukum Islam ” dan A. Hanafi dalam bukunya ” Pengantar dan Sejarah Hukum Islam ”.  Hasbi     Ash-Shiddieqy membahas sebagian besar tentang Ushul Fiqih, sedangkan A. Hanafi membahas lebih banyak tentang Syari,ahFiqih dan Ushul Fiqih.
          Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam telah mendefinisikan hukum Islam dengan ” Koleksi daya upaya para fuqaha’ dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat ”[6] atau dengan kata lain :
 مَجْمُوْعُ مُحَاوَلاَتِ الْفُقَهَاءِ لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجَاتِ الْمُجْتَمَعِ
Pengertian ini tampaknya lebih relevan dengan pengertian Fiqih, Dengan demikian, maka hukum Islam berarti : ” seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ”[7].
          Muhammad Daud Ali menyatakan, manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud Syari’at Islam atau Fiqih Islam ? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan Fiqih adalah perumusan konkret Syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu disuatu tempat dan di suatu masa[8]. Sedangkan Cik Hasan Bisri mengemukakan bahwa hukum Islam mencakup dimensi abstrak, yakni dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan  Rasul-Nya[9].
          Hukum Islam sebagai unsur normatif dalam menata kehidupan manusia, berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua sumber tersebut selanjutnya dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan makhluk Allah Swt lainnya.
          Karena hukum Islam dibangun atas prinsip taukhid, yang dengan prinsip itu ia memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasulnya-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Prinsip ini menjadi dasar dan landasan dalam perumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan ( al-awamir ) dan apa yang dilarang atau mesti ditinggalkan ( al-nawahiy ) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang di internalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala dilakukan transaksi ( uqubad ) di antara manusia baik antar individu ( al-ahwal al-syakhshiyyah ) maupun antara individu dengan masyarakat termasuk yang berhubungan dengan hak-hak kebendaan ( al-madaniyyah ), dengan berpatokan kepada hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan ( al-qadha’ )[10]. Selanjutnya ada beberapa dimensi hukum Islam berkaitan dengan graduasi dan kawasan hukum tersebut. Hal yang demikian karena hukum Islam merupakan wujud hukum yang konkret, dibandingkan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang memproduknya. Dimensi-dimensi tersebut yaitu : syari’ah, ilmu, fiqih, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha dan adat. Kesembilan dimensi hukum Islam itu tumbuh dan berkembang di dunia Islam dan terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman, terutama di Indonesia[11].
          Jadi dari definisi yang dikemukakan diatas dapat difahami bahwa hukum Islam itu mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih, karena dua istilah yang dipakai untuk menunjukkan hukum Islam, yakni Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih sudah termaktub di dalamnya.
          Dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan hukum fiqih atau kadang-kadang hukum ( fiqih ) Islam. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali kedua istilah itu dirangkum dalam kata ” Hukum Islam ” tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini sangat dipahami karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat dibedakan akan tapi sulit untuk dipisahkan.

[1]. Dimana telah menjelaskan bahwa : “ Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah Swt yang mengatur prilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya “. Dari definisi ini arti sebenarnya hukum Islam lebih dekat dengan Syari’at Islam, Joseph Schacht ( Terj ) Joko Sopomo ( 2003 ). Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Islamika,  hal : 1.
[2] . Al-Baidhawi ( 1982 ). Minhaj al-Ushul, I, Bairut : Alam al-Kutub, hal : 47.
[3] . Muhammad Abu Zahrah ( 1994 ). Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal : 26.
[4] . Ahmad Rofiq ( 2001 ). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,  Jogyakarta : Gema Media, hal : 23.
[5] . Zainuddin Ali ( 2006 ). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,                hal : 2 – 3.
[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy ( 1975 ). Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 44.
[7] Amin Syarifuddin ( 1990 ). Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, hal : 18.
[8] . Muhammad Daud Ali ( 1989 ). Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 1945, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, hal :  28.
[9] . Cik Hasan Basri ( 2001 ). Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung : Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal : 29.
[10] . Ibid, hala : 33-34.
[11] . Ibid, hal : 34.
Makna Kebahagiaan Dalam Keluarga


Makna bahagia di dalam keluarga berkaitan dengan tingkat problem yang 
dihadapinya. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan keluarga bukan ketika 
akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah 
membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di 
pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Hidup berumah 
tangga bagaikan mengarungi bahtera di tengah samudera luas. Lautan kehidupan 
seperti tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah.  
Memasuki lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu 
kebahagiaan. Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga 
keluarga. Akan tetapi setelah periode impian indah terlampaui orang harus 
menghadapi realita kehidupan. 

Sunnah kehidupan ternyata adalah problem Kehidupan kita, tak terkecuali dalam 
lingkup keluarga adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun 
yang hidupnya terbebas dari problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justeru 
terletak pada kemampuan seseorang mengatasi problem. Sebaik-baik mukmin adalah 
orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al mu'min mufattanun 
tawwabun.(hadis). Problem itu sendiri juga merupakan ujian dari Allah, siapa 
diantara ,mereka yang berfikir positif, sehingga dari problem itu justeru lahir 
nilai kebaikan, liyabluwakum ayyukum ahsanu amala (Q/67:2) liyabluwakum fi ma a 
ta kum (Q/6:165) Menurut hadis Nabi, menemukan pasangan yang cocok 
(saleh/salihah) dalam hidup berumah tangga berarti sudah meraih  separoh urusan 
agama, separoh yang lain tersebar di berbagai bidang kehidupan. Hadis ini 
mengambarkan bahwa rumah tangga itu serius dan strategis. Kekeliruan orientasi, 
keliru jalan masuk, keliru persepsi, keliru
 problem solving dalam hidup rumah tangga akan membawa implikasi yang sangat 
luas. Oleh karena itu problem hidup berumah tanga adalah problem sepanjang 
zaman, dari sejak problem penyesuaian diri, problem aktualisasi diri, nanti 
meluas ke problem anak, problem mantu, cucu dan bahkan tak jarang suami isteri 
yang sudah berusia di atas 60 masih juga disibukkan oleh problem komunikasi 
suami isteri, hingga kakek dan nenek itu bisa meraih kebahagiaan.

Oleh sebab Itu makna bahagia di dalam keluarga berkaitan dengan tingkat problem 
yang dihadapinya. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan keluarga bukan 
ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu 
telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, 
dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Sungguh 
orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan 
cucu-cucunya nya sengsara dan hidup susah, meski perjalanan bahtera rumah 
tangganya penuh dengan kisah keberhasilan. Kebahagiaan di dalam keluarga hadir 
setelah kita mampu mengatasi problem sepanjang kehidupan rumah tangga. Menurut 
hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga 
(1) isteri/suami yang setia (2) anak-anak yang berbakti (3) lingkungan sosial 
yang sehat dan (4) rizkinya dekat. Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, 
anak-anak yang berbakti menjadikannya
 sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir 
dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan kegigihan.

“Filsafat Melankolik tentang Cinta”

MELANKOLIS CINTA
“I am standing in love with you.” begitulah ungkapan yang lebih tepat menurut Erich Fromm, dan bukan “I am falling in love with you”. Melalui artikel ini, saya hendak mendiskusikan persoalan ini secara filosofis.
Sebelumnya saya hendak mengurai apa yang saya pahami dan percayai tentang konsep cinta. Cinta itu cinta ketika dia tidak destruktif. Cinta adalah perasaan keterikatan yang mendalam – ibarat jiwa manusia itu berlapis, mencintai mampu menembusnya; untuk si pecinta atau yang dicintai, sepihak, atau dua belah pihak. Cinta menyatukan kita dengan dunia – si objek cinta dan oranglain sebagai manusia, sekaligus membuat kita juga independen. Kita tidak menjadi budaknya atau penguasanya, tetapi kita menjadi diri kita dalam artian yang sesungguhnya. Singkat kata, cinta memampukan kita merelasikan diri dengan elemen-elemen lain di kosmik ini – apapun manifestasinya – kesadaran internal atau eksternal, mental atau instrumental. Tergantung dari derajat yang tumbuh dalam diri kita ketika mencintai. Cinta idealnya membuat kita produktif sebagai manusia melampaui sekat-sekat yang dibangun oleh produk sosial yang massif. Kita mencipta dengan cinta, alih-alih merusak – terlepas dari apapun, siapapun, dan bagaimanapun objek cinta kita – karena objek cinta kita sendiri juga anasir yang independen.
Dalam hidup ini manusia mencari makna. Buat saya makna itu fragmen hakiki yang dicari oleh manusia ketika dia hidup – tak dari sekedar konformitas atau konsensus yang dibebankan kepadanya, tapi dari ke-diri-annya sebagai individu. Makna ini membuat manusia memahami, pelan-pelan, meski takkan pernah utuh, akan keberadaannya, identitasnya, segala sesuatu yang berada dalam dirinya dan relasinya dengan dunia.
Saya membagi perspektif mencintai ke dalam dua ranah: (1) Realita aktual (hal-hal realistis, fungsional, dan pragmatis) dan (2) Realita potensial (memiliki kecenderungan dan kemampuan untuk terwujud ataupun tidak terwujud karena ada secara inheren, dan abstrak). Keduanya tak sepenuhnya terpisah, karena dalam derajat tertentu kita harus memadukan kedua realita itu.
(1)    Realita Aktual: Pragmatis-Fungsional
Tak terhindarkan bahwa kata ‘cinta’ mengalami komodifikasi, eksploitasi, dan manipulasi sebagai bahan industri budaya massa. Atas nama ‘cinta’ kita digempur oleh lagu-lagu ‘cengeng’, sinetron-sinetron dungu, dsbnya. Cintapun mengalami pendangkalan. Di satu sisi sistem sosial kita telah memapankan institusi, pengakuan, dan formalisasi atas nama cinta – bahwa dua orang yang mencintai harus di’status’kan – menikah, pacaran, tunangan, apapun itu. Dalam tahap ini, cinta mengalami ‘pem-bumi-an’, dan tentu saja hal ini memang perlu.
Ketika kita mencintai, kita tak bisa ‘makan’ cinta – kita harus beradaptasi dengan seperangkat norma dan kebutuhan sosial untuk bertahan. Di satu sisi, muncul anggapan yaitu ketika kita mencinta, kita perlu menuntut hal yang sama dari orang yang kita cintai. Kita harus mencintai dengan imbal balik. Pamrih. Kalau orang itu menolak, maka seperti saklar yang dimatikan, cinta kita bisa lenyap seketika – atau dilenyapkan paksa demi mencegah kita dari terluka.
Pragmatisme pun muncul. Gugatan seperti “Untuk apa saya cinta dia kalau dia tidak pernah ‘memberi’ saya apa-apa?” muncul dalam beragam bentuk, cinta diasumsikan seperti alat barter. Kita beri ke seseorang supaya kita dapat yang kita inginkan, entah barang, atau kata ‘cinta’ dari mulutnya. Cinta yang awalnya dirayakan sebagai sesuatu yang instingtif lalu sekedar menjadi suplemen ketika dihadapkan pada tuntutan konformitas sosial: cinta harus didampingi oleh kemampuan menghasilkan uang (menafkahi), menyediakan fasilitas (barang, rumah, dsbnya), dan memenuhi kebutuhan pokok (makanan, seks, dsbnya). Meski dalam banyak kasus hal ini berjalan baik bagi banyak manusia – setidaknya di permukaan, kadang dengan tuntutan-tuntutan ini dalam perjalanannya cinta mengalami pembusukan dan ‘materialisasi’ karena kegagalan meredefinisi cinta. Akibatnya, cinta bertransformasi menjadi sekedar ilusi, perekat usang, dan bermutasi menjadi destruktif.
Di satu sisi ada argumen bahwa cinta bisa tumbuh seiring dengan terpenuhinya kebutuhan atau kewajiban kita yang lain. Menurut mereka, cinta bisa tumbuh kemudian. Ada juga yang menganggap cinta urusan belakangan yang penting mereka menikah untuk alasan misi keagamaan, kehormatan keluarga, status sosial, atau sokongan finansial. Ada juga yang mencatut embel-embel ‘cinta’ demi sekedar mendapat kepuasan seksual atau status tertentu di lingkungannya.
Dari sini, ‘cinta’ dicatut secara mekanis. Sementara cinta sejati amat mungkin timbul dari proses ini, namun ada konsekuensi yang rada aneh. Ketika sistem perjodohan yang berlangsung lewat mekanisasi ini gagal, si pelamar cinta bisa dengan mudah beralih ke pencarian lain. ”Lamaran saya ditolak si fulan. Bisa tolong carikan yang lain?”
Atau sebaliknya. Ketika seseorang jatuh cinta, dan cintanya tidak berujung pada adanya timbal balik dari si objek cinta atau formalisasi, si pecinta ini jatuh pada keputusasaan, frustrasi, kemarahan, kekecewaan mendalam, atau akhirnya menjadi destruktif. Seringkali hal ini disebabkan karena ketika dia merasakan ’cinta’ maka cinta itu menjadi suplemen pragmatismenya. Dia memberi dan menuntut materialisasi dari cintanya.
Alhasil, dampak dari pragmatisme cinta adalah ketika kita hanya ingin dan berani mencintai kalau ada pamrih, janji, garasi, atau ’uang muka’.
Hal itu sah saja kalau dilihat dari sudut pandang bahwa manusia pada satu level hidupnya menginginkan rasa aman melalui apapun – ”peduli setan” dangkal atau mendalam, yang penting ada stimulus ’bahagia’. Namun untuk tulisan ini saya hendak membagi wacana tentang cinta secara filosofis, yaitu cinta substantif dan transenden. Menurut saya ini prinsipil kalau kita hendak bicara pada level lain dalam hidup manusia, dan saya percaya kedua level realita ini dimungkinkan berjalan simultan.
(2)    Realita Potensial: Substantif-Transenden
Secara garis besar, paparan definitif dalam poin kedua ini sudah saya tulis di awal – yaitu terkait dengan produktivitas, relasi dengan kosmik dan manusia, sekaligus peneguhan independensi kita sebagai individu. Karena itu, saya pikir, ketika kita mencintai secara substantif maka ia menjadi substance – inti terpenting dalam ke-diri-an kita, yang menimbulkan dorongan untuk memberi kepada si objek cinta. Memberi dalam bentuk apapun, karena secara naluriah kita menjadi produktif.
Kita merasa ada bagian dari fragmen di diri kita yang terlengkapi. Kita merasa menemukan makna dari semrawut serpih-serpih hidup kita yang penuh tanda tanya. Kita dikonfrontasikan oleh paradoks: munculnya kebingungan sekaligus jawaban, kepedihan sekaligus kebahagiaan, masa lalu sekaligus masa depan.
Momennya berkisar seputar penundaan sempurna – tiada yang utuh, tunggal, absolut – tapi ada yang membuat kita menyanggupi.
Mencintai itu substantif dalam artian kita berani. Kita berani untuk mencintai tanpa bergantung sepenuhnya pada ekspektasi imbalan. Kita melihat si objek cinta dengan kepedulian dan merecapi rasa cinta sebagai bagian dari kesadaran akan eksistensi kita, dan bukan tumbuh dari materialisme yang mengitari kita. Kita berani untuk menghadapi rasa takut itu – takut ditolak, dilukai, tak terwujud secara institusi, tak diakui, tak bisa memenuhi prasyarat-prasyarat sosial dan material, dsbnya – karena mencintai berada jauh di inti.
Mencintai tak membuat kita mengurung diri di kamar dalam sentimentalisme tanpa akhir. Mencintai justru membuat kita ingin melangkah ke luar dan menyapa kehidupan. Kita akan berkreasi. Secara otomatis dorongan mencintai membuat kita tak bergantung pada suplemen kehidupan, melainkan membuat kita ingin meraihnya. Cintalah yang sebagian menjadi penggerak kita untuk mendapat fasilitas dan hal-hal material dalam hidup, bukan kebalikannya. Mencintai membuat kita emosional, tapi juga rasional. Terkait tapi mandiri. Kita berpikir, tak hanya melamun. Kita berproduksi, tak menuntut konsumsi. Mencintai juga tidak mendehumanisasi, memaksa, maupun menjadikan kita budak. Kita bisa kehilangan rasa cinta ketika sudah terjadi unsur destruktif – baik dari diri kita atau objek cinta kita, dan itu adalah pilihan rasional dan manusiawi.
Mencintai itu transenden dalam artian ia melampaui sekat-sekat yang berada di sekitar kita dan kotak sosial yang kita terkubang di dalamnya. Bukan berarti hal-hal semacam itu tak penting, namun formalisasi dan pengakuan akan cinta kita adalah perayaan sosial – artinya, dirayakan syukur, tidak dirayakan pun tak apa. Cinta substantif hanya dapat dirasakan saat momen transendensi itu meretas dalam pengalaman kita. Kapasitasnya yang inheren di dalam diri kita tak berkurang oleh penolakan maupun ketiadaan pengakuan atau formalisasi. Kekuatan transendennya akan merayakan rasa berbalas, formalisasi, status, pamrih dan fasilitas fisik dan material yang mungkin kita dapat dari si objek cinta, tapi juga akan menyanggupi rasa ‘luka’ – karena mencintai itu sendiri telah menyanggupi kita sebagai individu yang independen.
Dalam tahap ini, elemen-elemen pragmatis tak menjadi prasyarat – karena dia perlahan akan hadir dengan sendirinya – dan yang relevan adalah bahwa kita standing in love, bukan falling in love. Ketika kita mencintai, kita tidak jatuh, melainkan mendampingi dengan kedua kaki kita yang berdiri melampaui apa-apa yang tersekat, terbebankan, dan terkomodifikasi. Cinta eksis dalam perayaan sosial atau dalam kesunyian yang mempesona, mungkin kelam atau tidak. Tapi itulah makna.