Filsafat Hukum keluarga islam
Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqih, hukum Allah Swt dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata-kata hukum Islam itu sendiri merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari litertur Barat[1], kemudian Hukum Islam menjadi istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah al-Islamy yang penjabarannya disebut dalam istilah fiqihnya sebagai :
Atau dengan istilah yang lainya :
Maka para ulama ushul fiqih menetapkan suatu definisi hukum Islam antara lain :
Dengan demikian, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari Syari’ah dan Fiqihsekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari Syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah Swt sebagai al-Syar’i[4]. Oleh karena itu, penyebutan Hukum Islam sering dipakai sebagi terjemahan dari Syari’at Islam atau Fiqih Islam.
Apabila Syari’at Islam diterjemahkan sebagai Hukum Islam ( Hukum in abstracto ), maka berarti syari’at Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian Syari’at Islam meliputi aspek اَلاْ ِعْتِقَادِيَة , الخاقية dan الشرعية . Akan tetapi sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari Fiqih Islam, maka hukum Islam termasuk kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. Sedangkan pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqih maupun belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqih islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto( pada tataran fatwa atau doktrin ) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto ( pada tataran aplikasi atau pembumian ). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan negara yang mengikat dalam suatu negara. Namun demikian, agar mendapatkan pemahamana yang benar tentang hukum Islam, maka yang harus dilakukan menurut Muhammad Daud Ali adalah sebagai berikut :
a. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran dinul Islam.
b. Menempatkan hukum Islam dalam satu kesatuan :
d. Dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertical maupun horizontal[5].
Dengan paparan tersebut diatas, maka Istilah hukum Islam telah dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya ” Pengantar Hukum Islam ” dan A. Hanafi dalam bukunya ” Pengantar dan Sejarah Hukum Islam ”. Hasbi Ash-Shiddieqy membahas sebagian besar tentang Ushul Fiqih, sedangkan A. Hanafi membahas lebih banyak tentang Syari,ah, Fiqih dan Ushul Fiqih.
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam telah mendefinisikan hukum Islam dengan ” Koleksi daya upaya para fuqaha’ dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat ”[6] atau dengan kata lain :
Muhammad Daud Ali menyatakan, manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud Syari’at Islam atau Fiqih Islam ? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan Fiqih adalah perumusan konkret Syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu disuatu tempat dan di suatu masa[8]. Sedangkan Cik Hasan Bisri mengemukakan bahwa hukum Islam mencakup dimensi abstrak, yakni dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya[9].
Hukum Islam sebagai unsur normatif dalam menata kehidupan manusia, berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua sumber tersebut selanjutnya dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan makhluk Allah Swt lainnya.
Karena hukum Islam dibangun atas prinsip taukhid, yang dengan prinsip itu ia memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasulnya-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Prinsip ini menjadi dasar dan landasan dalam perumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan ( al-awamir ) dan apa yang dilarang atau mesti ditinggalkan ( al-nawahiy ) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang di internalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala dilakukan transaksi ( uqubad ) di antara manusia baik antar individu ( al-ahwal al-syakhshiyyah ) maupun antara individu dengan masyarakat termasuk yang berhubungan dengan hak-hak kebendaan ( al-madaniyyah ), dengan berpatokan kepada hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan ( al-qadha’ )[10]. Selanjutnya ada beberapa dimensi hukum Islam berkaitan dengan graduasi dan kawasan hukum tersebut. Hal yang demikian karena hukum Islam merupakan wujud hukum yang konkret, dibandingkan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang memproduknya. Dimensi-dimensi tersebut yaitu : syari’ah, ilmu, fiqih, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha dan adat. Kesembilan dimensi hukum Islam itu tumbuh dan berkembang di dunia Islam dan terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman, terutama di Indonesia[11].
Jadi dari definisi yang dikemukakan diatas dapat difahami bahwa hukum Islam itu mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih, karena dua istilah yang dipakai untuk menunjukkan hukum Islam, yakni Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih sudah termaktub di dalamnya.
Dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan hukum fiqih atau kadang-kadang hukum ( fiqih ) Islam. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali kedua istilah itu dirangkum dalam kata ” Hukum Islam ” tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini sangat dipahami karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat dibedakan akan tapi sulit untuk dipisahkan.
[1]. Dimana telah menjelaskan bahwa : “ Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah Swt yang mengatur prilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya “. Dari definisi ini arti sebenarnya hukum Islam lebih dekat dengan Syari’at Islam, Joseph Schacht ( Terj ) Joko Sopomo ( 2003 ). Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Islamika, hal : 1.
[2] . Al-Baidhawi ( 1982 ). Minhaj al-Ushul, I, Bairut : Alam al-Kutub, hal : 47.
[3] . Muhammad Abu Zahrah ( 1994 ). Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal : 26.
[4] . Ahmad Rofiq ( 2001 ). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jogyakarta : Gema Media, hal : 23.
[5] . Zainuddin Ali ( 2006 ). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hal : 2 – 3.
[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy ( 1975 ). Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 44.
[7] Amin Syarifuddin ( 1990 ). Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, hal : 18.
[8] . Muhammad Daud Ali ( 1989 ). Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 1945, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, hal : 28.
[9] . Cik Hasan Basri ( 2001 ). Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung : Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal : 29.
[10] . Ibid, hala : 33-34.
[11] . Ibid, hal : 34.
Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqih, hukum Allah Swt dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata-kata hukum Islam itu sendiri merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari litertur Barat[1], kemudian Hukum Islam menjadi istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah al-Islamy yang penjabarannya disebut dalam istilah fiqihnya sebagai :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ اَوْ فقيه عنه
Artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya ” .Atau dengan istilah yang lainya :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ شَيْئٍ
Artinya ” Menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain ”.Maka para ulama ushul fiqih menetapkan suatu definisi hukum Islam antara lain :
١. خِطََابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ بِالاْ ِقْتِضَاءِ
اَوِ التَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ
Artimya : “ Firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadl’i ” [2].
٢. خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوِ التَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعاً
Artinya : “ Khitab ( tatah ) Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan ( perintah dan larangan ) atau semata-mata menerangkan pilihan ( kebolehan memilih ) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum “[3].Dengan demikian, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari Syari’ah dan Fiqihsekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari Syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah Swt sebagai al-Syar’i[4]. Oleh karena itu, penyebutan Hukum Islam sering dipakai sebagi terjemahan dari Syari’at Islam atau Fiqih Islam.
Apabila Syari’at Islam diterjemahkan sebagai Hukum Islam ( Hukum in abstracto ), maka berarti syari’at Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian Syari’at Islam meliputi aspek اَلاْ ِعْتِقَادِيَة , الخاقية dan الشرعية . Akan tetapi sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari Fiqih Islam, maka hukum Islam termasuk kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. Sedangkan pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqih maupun belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqih islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto( pada tataran fatwa atau doktrin ) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto ( pada tataran aplikasi atau pembumian ). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan negara yang mengikat dalam suatu negara. Namun demikian, agar mendapatkan pemahamana yang benar tentang hukum Islam, maka yang harus dilakukan menurut Muhammad Daud Ali adalah sebagai berikut :
a. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran dinul Islam.
b. Menempatkan hukum Islam dalam satu kesatuan :
احكام الشرعية العملية , احكام الشرعية العملية الا عتقادية , احكام الشرعية الخاقية
c. Dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan Fiqih yang walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.d. Dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertical maupun horizontal[5].
Dengan paparan tersebut diatas, maka Istilah hukum Islam telah dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya ” Pengantar Hukum Islam ” dan A. Hanafi dalam bukunya ” Pengantar dan Sejarah Hukum Islam ”. Hasbi Ash-Shiddieqy membahas sebagian besar tentang Ushul Fiqih, sedangkan A. Hanafi membahas lebih banyak tentang Syari,ah, Fiqih dan Ushul Fiqih.
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam telah mendefinisikan hukum Islam dengan ” Koleksi daya upaya para fuqaha’ dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat ”[6] atau dengan kata lain :
مَجْمُوْعُ مُحَاوَلاَتِ الْفُقَهَاءِ لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجَاتِ الْمُجْتَمَعِ
Pengertian ini tampaknya lebih relevan dengan pengertian Fiqih, Dengan demikian, maka hukum Islam berarti : ” seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ”[7].Muhammad Daud Ali menyatakan, manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud Syari’at Islam atau Fiqih Islam ? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan Fiqih adalah perumusan konkret Syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu disuatu tempat dan di suatu masa[8]. Sedangkan Cik Hasan Bisri mengemukakan bahwa hukum Islam mencakup dimensi abstrak, yakni dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya[9].
Hukum Islam sebagai unsur normatif dalam menata kehidupan manusia, berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua sumber tersebut selanjutnya dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan makhluk Allah Swt lainnya.
Karena hukum Islam dibangun atas prinsip taukhid, yang dengan prinsip itu ia memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasulnya-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Prinsip ini menjadi dasar dan landasan dalam perumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan ( al-awamir ) dan apa yang dilarang atau mesti ditinggalkan ( al-nawahiy ) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang di internalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala dilakukan transaksi ( uqubad ) di antara manusia baik antar individu ( al-ahwal al-syakhshiyyah ) maupun antara individu dengan masyarakat termasuk yang berhubungan dengan hak-hak kebendaan ( al-madaniyyah ), dengan berpatokan kepada hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan ( al-qadha’ )[10]. Selanjutnya ada beberapa dimensi hukum Islam berkaitan dengan graduasi dan kawasan hukum tersebut. Hal yang demikian karena hukum Islam merupakan wujud hukum yang konkret, dibandingkan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang memproduknya. Dimensi-dimensi tersebut yaitu : syari’ah, ilmu, fiqih, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha dan adat. Kesembilan dimensi hukum Islam itu tumbuh dan berkembang di dunia Islam dan terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman, terutama di Indonesia[11].
Jadi dari definisi yang dikemukakan diatas dapat difahami bahwa hukum Islam itu mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih, karena dua istilah yang dipakai untuk menunjukkan hukum Islam, yakni Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih sudah termaktub di dalamnya.
Dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan hukum fiqih atau kadang-kadang hukum ( fiqih ) Islam. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali kedua istilah itu dirangkum dalam kata ” Hukum Islam ” tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini sangat dipahami karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat dibedakan akan tapi sulit untuk dipisahkan.
[1]. Dimana telah menjelaskan bahwa : “ Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah Swt yang mengatur prilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya “. Dari definisi ini arti sebenarnya hukum Islam lebih dekat dengan Syari’at Islam, Joseph Schacht ( Terj ) Joko Sopomo ( 2003 ). Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Islamika, hal : 1.
[2] . Al-Baidhawi ( 1982 ). Minhaj al-Ushul, I, Bairut : Alam al-Kutub, hal : 47.
[3] . Muhammad Abu Zahrah ( 1994 ). Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal : 26.
[4] . Ahmad Rofiq ( 2001 ). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jogyakarta : Gema Media, hal : 23.
[5] . Zainuddin Ali ( 2006 ). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hal : 2 – 3.
[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy ( 1975 ). Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 44.
[7] Amin Syarifuddin ( 1990 ). Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, hal : 18.
[8] . Muhammad Daud Ali ( 1989 ). Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 1945, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, hal : 28.
[9] . Cik Hasan Basri ( 2001 ). Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung : Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal : 29.
[10] . Ibid, hala : 33-34.
[11] . Ibid, hal : 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar