Kebudayaan Masyarakat Kanekes Baduy
“… Ada sesuatu milik Urang Kanekes
yang sanggup memperkaya batin kita. Sesuatu yang hampir sirna dalam alam
modern ini. Kearifan. Citra “Kanekes masyarakat terasing” adalah
keliru. Mereka punya wawasan luas tentang hidup ini. Alam modern telah
kerap bertandang, namun kerarifan Urang Kanekes tetap gigih
membendungnya. Pikukuh itu patut kita pahami. Rasa hormat kepada
kearifan Urang Kanekes yang mendorong kami untuk menceritakan hidup
keseharian mereka kepada anda. Dengan upaya tetap berpegang pada
kejujuran sebagaimana tercermin pada :
“neda Agungna Parahun, neda
Panjangna Hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak lorongannana – lojor
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu enya ku
dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun”
(Yudistira Kartiwa Garna 1987)
Desa Kanekes terletak di Kecamatan Leuwi
Damar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (dahulu Jawa Barat). Di daerah
hulu aliran (sungai) Ci Ujung, pada sisi utara Pegunungan Kendeng di
kawasan Banten Selatan. Menurut anggapan umum orang Sunda, penamaan atau
sebutan Kanekes diambil dari nama (Sungai) Ci Kanekes yangmengalir di
kawasan ini sehingga penduduk Desa kanekes menamakan dirinya Urang
Kanekes (Orang Kanekes),tetapi orang Luar lebih mengenalnya dengan
sebutan Orang Baduy. Sebutan yang”sangat tidak disukai” oleh Urang
Kanekes, walau di wilayah ini ada bukit yangdisebut Gunung Baduy dan
didekatnya mengalir (sungai) Ci Baduy.
Sebutan Baduy menjadi populer dikalangan
umum (luar) karena daerah Baduy merupakan pintu gerbang pertama untuk
masuk ke daerah Kanekes, lagi pula penduduknya terbiasa bepergian keluar
danbergaul dengan penduduk di sekitarnya sehingga itu orang luar lebih
mengenal “Urang Baduy”.
Dalam pandangan Urang Kanekes, kelompok
Baduy ini lebih mirip “orang luar” daripada Urang Kanekes dan merekapun
tidak merasa terwakili oleh penampilan Urang Baduy yang dipandangnya
hanya sedikit sekali berpegang pada tradisi Kanekes. Di samping itu,
istilah Baduysering dihubungkan oleh kalangan luar dengan istilah
“Baduwi” yakni salah satu suku arab yang hidup liar dan tidak hidup
menetap tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat
lain–nomaden. Ketidakmengertian kalangan luar menganggap Urang Kanekes
pelarian Pajajaran yang sengaja sembunyi kepegunungan karena tidak mau masuk agama Islam.
Kenyataannya Urang Kanekes di kawasan
Lebak telah menghuni secara turuntemurun sejak sebelum Pajajaran hadir,
maka dengan tandang Urang Kanekes menyatakan tegas bahwa dirinya adalah
Sunda nu Wiwitan. Barangkali prasasti Cidanghiyang (abad 4—5 Masehi)
yang kini masih insitu di kawasan ini dapat dijadikan tonggak sejarah
yang sulit ditolak sebagai bukti keberadaan Urang Kanekes dan perangkat
kehidupan kebudayaannya memiliki kepribadian tangguh kasundaan
dibandingkan dengan yang mengaku Urang Sunda di Jawa Barat.
Salah satu kesulitan penelitian diKanekes
adalah benturan adat tidak membolehkan semah (tamu) menetap lebih dari 3
hari terutama orang asing (foreigner) samasekali dilarang masuk.
Kesempatan berbicara untuk menuai informasi merupakan sesuatu yang
sangat mahal karena kesempatan hanya terbuka sekali setahun saja.
Terlebih lagi ada kerarifan Urang Kanekes yang bersifat pendiam atau
sengaja tutup mulut, bilamana tidak perlu benar maka mereka cukup
menjawab “teu wasa”.
Informasi yang leluasa dapat diperoleh
bila ada Urang Panamping (BaduyLuar = Urang Hilir), walau harus diakui
bahwa di dalam beberapa hal nilainya sebagai sumber informasi lebih
dalam daripada informasi UrangTangtu (Baduy Dalam= Kajeroan= Urang
Girang) yangmerupakan “elite” komunitas ini.
Satu hal terpenting yang kerap terluput
dari penelitian selama ini adalah mandala yang selalu disebut-sebut di
dalam setiap peristiwa ritual untuk menyebut hunian tempat mereka hidup.
Mandala Kanekes adalah tanah suci yang diwariskan leluhur
(nenek-moyang) mereka secara turun temurun. Karena itu harus dijaga,
dipelihara, dipertahankan dan tidakboleh diinjak oleh sembarang orang.
Penduduk Kanekes sendiri diperkenankan menetap di tanah Kanekes
sepanjang tidak melanggar ketentuan adat yang selama ini telah menuntun
kehidupan sebagai simbol melaksanakan Tapa dina Mandala.Sedangkan
leluhur Urang Sunda secara umum melakukan Tapa di Nagara. Rumusan
tradisi Urang Kanekes bersendikan kehidupan Tapa dina Mandala yang
didalam berbagai karyasastra Sunda Kuno disebutkan:
“Carek napatikrama na urang
lanang wadwan, iya tuwah iya tapa. Iya tuwah na urang.Gwareng twah
gwareng tapa, maja twah maha tapa, rampes twah rampes tapa; apanaurang
ku twahna mana beunghar, ku twahna mana waya tapa” .
Urang Kanekes sebagai “pertapa” selalu
bersamadi diterapkan dengan cara rajin bekerja dan tekun, sedikit
bicara dan bahkan hampir tidak pernah menganggur seumur hidupnya. Karena
bekerja adalah tapa mereka. Berladang bagi Urang Kanekes bukan sekedar
menanam padi atau palawija untuk makan melainkan agar hidup berkecukupan
dan tidak menyusahkan orang lain, sebab perilaku menta (meminta)
merupakan hal yang sangat tabudan harus dijauhi (buyut).
Dari seluruh siklus kehidupan, adat
berladang adalah terpenting, karenanya daur kehidupan sehari-hari
terpolakan sesuai dengan irama perlandangan, tetapi sangat tabu (buyut)
bersawah karena mencangkul atau membongkar tanah dianggap merusak bumi.
Tradisi berladang sebagai bagian tapa dilestarikan melalui penghormatan
terhadap benih padi atau co’o binih yang disebut dengan julukan hormat Ambu Pwah Aci Sang Hiyang Asri.
Peristiwa sakral yang dilakukan tiap
tahun, co’o binih ditanam di tanah lambang Ambu PwahAci Sang Hiyang Asri
dikawinkan (direremokeun) dengan mandala pageuh (bumi).Bertanam padi
sebagai fokus budaya yang dominan dalam kehidupan masyarakat Kanekes
dilakukan melalui ritus (upacara) masal. Urang Tangtu(Girang=Kajeroan)
hanya sekali dalam setahun membunyikan angkung yakni kala menanam padi
huma serang (ladang milik bersama) bertujuan menghibur padi, juga
memainkan kecapi atau alat kesenian bambu yang dimilikinya.
Secara etnik Urang Kanekes adalah
orang Sunda, mereka mengaku Urang Sunda ditandai keyakinan Sunda
Wiwitan. Dalam lubuk hati mereka tertanam perasaan “Sunda lebih
Asli”dibandingkan dengan orang Sunda di luar Kanekes yang telah beralih
menjadi penganut Islam. Mitologi Kanekes menampil kan pandangan bahwa di
Bumi Kanekeslah awal kelahiran mandala Sunda. Bahasa mereka adalah
bahasa Sunda dialek Banten Selatan yang dapat dikatakan sedikit sekali
dipengaruhi bahasa dari luar (asing).
Mandala Kanekes mencakup tiga
(kampung) disebut Tangtu yang menurut istilah Kanekes berarti pasti
(tentu), cakal bakal (pokok) dalam kesatuan yang disebut TeluTangtu
yaitu Cibeo sebagai Tangtu Parahiyang; Cikartawana sebagai Tangtu Kadu
Kujang; dan Cikeusik sebagai Tangtu Pada Ageung.Telu
Tangtu inilah yang menjadi inti kehidupan masyarakat Kanekes. Penduduk
Tangtu adalah kelompok elite sesuai kwalitas kemandalaannya yang
tinggi, dari kalangan mereka pula diambil para pejabat inti pemerintahan
tradisional.
Di luar Telu Tangtu terdapat kampung
Panamping – Baduy Luar – kata panamping berasal dari tamping yang
menurut Urang Kanekes artinya buang (panamping = pembuangan) tempat bagi
UrangTangtu yang dikeluarkan karena melanggar adat. Namun sebenarnya
kata tamping juga dapat diterjemahkan sisi atau pinggir maka panamping
berarti pinggiran (daerah luar). Menurut pengakuan Ayah Dainah (Jaro
Pamarentah KaduKetug – Baduy Luar) yang tinggal di kampung Kadu Ketug di
daerah Ciboleger,sebenarnya yang disebut Baduy Luar bukan pembuangan
tetapi kampung mereka merupakan pintu gerbang (bagian hilir=
lebak)menuju ke Baduy Jero (Girang) yang berada di daerah hulu
(tonggoh).
Kenyataannya sampai sekarang di
Panamping banyak menetap keturunan Urang Tangtu dan banyak kerabat
keluarga dari Puun. Hubungan kekerabatan diantara mereka tidak terganggu
oleh status kemandalaan bahkan berjalan dengan sangat baik serta akrab
sebagai layaknya jalinan atau tali persaudaraan. Namun kerabat di
Panamping kerap “tahu diri”membatasi pergaulannya dengan kerabat Kampung
Tangtu.
Tempat tinggal kaum panamping berada
di luar Tanah Larangan dan mereka terikat kepada Tangtu Masing-masing
dan dalam hal berlaku ketentuan nyanghareup (menghadap).Bila seseorang
warga Panamping tinggal di wilayah Kapuunan Cikeusik nyanghareup ke
Tangtu Cibeo sehingga dalam kegiatan-kegiatan adat ia bergabung
keKapuunan Cibeo dan berlaku sebaliknya. Hal itu terjadi biasanya karena
hubunganperkawinan antar kampung. Demikian pula warga Tangtu Cikeusik
yang berjodoh dengan wanita Tangtu Cibeo akan mengikuti istrinya
nyanghareup ke Tangtu Cibeo.
Di Kanekes juga terdapat kampung
Dangka yang berada di luar wilayah Kanekes. Dangka artinya rangka –
tempat tinggal atau daerah permukiman, namun menurut mitologi setempat
artinya tempat pemukiman kaum raksasa di bawah tanah bahkan dalam dialek
Bogor artinya (pakaian) kotor.Adanya daerah Panamping dan Dangka
menunjukkan bahwa sebenarnya wilayah Kanekes lebih luas daripada yang
ada sekarang. Penetapan batas yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial
Hindia-Belanda telah menyempitkan wilayah Kanekes sampai batas
kemandalaannya, sehingga banyak yang tercecer di luar batas tersebut.
Selain berladang dan bercocoktanam,
kegiatan sehari-hari Masyarakat Kanekes adalah menenun dan
berdagang.Mereka membuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya
terbuat dari kulit kayu yang dianyam. Kemudian hasil kerajinan tangan
dan tenunan dijual diwilayah Kanekes Luar dan Kanekes Dalam. Terkadang
mereka untuk membeli sesuatu harus pergi keluar Desa Kanekes. Mereka
biasa naik turun gunung untuk pergi keluar, mencari kayu bakar dan
berladang tanpa alas kaki. Perjalanan sejauh apapun harus ditempuh
dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari Kanekes Luar ke
Kanekes Dalam dapat ditempuh sekitar 4 jam, apalagi membawa rombongan.
Namun untuk orang Kanekes sendiri, mereka menempuh perjalanan sekitar 1
sampai 1,5 jam engan jarak sekitar 15 KM. Untuk medan yang normal jarak
tersebut dapat ditempuh 1-1,5 jam.
1. Tata cara berpakaian
Cara berpakaian masyarakat, pada
umumnya selalu menyesuaikan dengan kondisi dan model pakaian yang
beraneka ragam yang tentunya sesuai dengan trend atau mode yang sedang
bergulir,tentunya harganya pun mahal, namun bagi masyarakat Kanekes mode
atau model pakaian bukanlah prioritas utama yang mereka tampilkan,
pakaian mereka cukup sederhana dengan dua warna yang khas yakni warna
putih dan hitam/gelap. Ada satu ciri yang membedakan antara pakaian
orang Kanekes dalam dan Kanekes Luar, khususnya pada laki-laki yaitu
warna baju dan iket kepala (slayer) selalu berwarna putih,sedangkan pada
masyarakat Kanekes Luar ikat kepala bermotif batik dengan warna dasar
biru dan baju warna hitam, untuk bawahannya ( Celana ) orangKanekes
Dalam selalu mengenakan bahan warna gelap dan cukup diikat dengan
selembar kainpengikat berwarna putih yang dijadikan sebagai penguat
selembar bahan ( Celana tanpa dijahit) yang melingkar dari pinggang
hingga paha, pada kain yangmelingkar tersebut selalu terselip sebilah
golok khas masyarakat Kanekes.
Sementara orang Kanekes Luar untuk
bawahan sudah ada yang mengenakan model celana agak lebar dan berwarna
hitam serta kain pengikat pada pinggang untuk menyelipkan sebilah golok.
Sementara untuk kaum wanitanya tidak terlalu berbeda yakni kain, baju
warna hitam tutup kepala, perbedaannya adalah pakaian wanita atau pria
yang dipergunakan oleh masyarakat Kanekes Dalam tidak dijahit dengan
mesin jahit, melainkan dikaput ( dijahit ) dengan tangan saja, sementara
untuk masyarakat Kanekes Luar pakaian yang mereka kenakan sudah dijahit
dengan mesin jahit, bahkan membeli pakain yang sudah jadi.
Dan yang tak pernah ketinggalan adalah
kain berbentuk bujur sangkar berwarna putih yang berfungsi sebagai tas
untuk menyimpan bekal selama perjalanan atau tas jarog yang terbuat dari
kulit kayu teureup yang telah dianyam membentuk tas.
2. Tatacara menanam padi
Indonesia terkenal dengan negara
agraris dimana penduduknya sebagian besar hidupnya dari hasil pertanian,
proses penanaman padi pada masyarakat pertanian selalu pada daerah
datar pesawahanyang membentang dari ujung keujung atau lahan
pertaniannya berbentuk terasering dengan pengairan dan irigasi yang
sangat baik, pemupukan yang sangat modernserta penanaman dan panennya
bisa tiga kali dalam satu tahun dikarenakan kecanggihan teknologi.
Bagi masyarakat Kanekes menanam pada
hanya satu kali dalam satu tahun secara otomatis panennyapun hanya hanya
satu kali. Masyarakat Kenekes biasa menanam padi pada saat menjelang
musim penghujan tiba, dan apa yang unik dari pertanian di Kanekes
khususnya padi. Masyarakat Kanekes menanam padi ( Huma ) pada daerah dan
tempat-tempat yang berbukit dan terjal, tanpa pengairan, pupuk, alat
modern atau dengan kata lain tanpa teknologi tepat guna. Lalu bagaimana
proses masyarakat menanam padinya?
Dari hasil wawancara dengan salah
seorang warga Kenekes bernama Mang Arji juga sekaligus guide untuk para
tamu, memberikan informasi sebagai berikut, ” Bahwa masyarakat Kanekes
dalam menanam padi melalui tahap-tahap seperti di bawah ini :
1. nyacar
Atau memotong semua tanaman dan
rerumputan serta pepohonan kecil yang berupa semak belukar dengan
menggunakan sebilah sabit, pada tahap ini para petani huma membabat
habis semua semakbelukar yang diperkirakan akan mengganggu tumbuhnya
tanaman padi, sehingga padi akan tumbuh dengan baik.
2. nutuhan
adalah memotong dahan-dahan pepohonan
yang dapat mengganggu dan menghalangi sinar matahari dalam
prosesfotosintesa dan proses penyinaran sempurna terhadap tanaman utama
maupuntanaman penyela.
3. ngaduruk
Merupakan kegiatan membakar
semakbelukar, ranting dan dahan yang telah dipangkas habis pada kegiatan
sebelumnya,dan hasil proses pembakaran ini dijadikan sebagai penyubur
tanaman atau pupuk.
4.nyasap/sasap
Kegiatan para petani huma untuk
membersihkan rerumputan yang baru tumbuh, dan rerumputan yang telah
dibersihkan tersebut dibiarkan hingga membusuk yang selanjutnya dapat
pula dijadikan penyubur tanaman/ pupuk.
5. ngaseuk
Dilakukan dengan menggunakan sebatang
kayu sebesar kepalan jari tangan yang diruncingkan pada bagian ujung
kayu tersebut dan dipergunakan untuk membuat lubang tempat menyimpan
biji/bibit padi secara beraturan dan dengan pentaan yang rapi sehingga
kelihatan indah dipandang mata.
6.ngored
Kegiatan membersihkan rerumputanyang
tumbuh diantara tanaman padi pada saat usia padi diperkirakan 2-3
minggu,sebab apabila ngored tidak dilakukan maka kemungkinan besar sari
makanan yang seharusnya untuk padi, dihisap oleh tanaman hama atau
rerumputan tersebut, yang pada akhirnya pertumbuhan padi tidak sempurna
karena banyaknya tanaman pengganggu/hama.
7. mulihan
Merupakan kegiatan membersihkan
rerumputan tahap ke dua setelah usia padi sekitar 3 bulan, hal ini
dilakukanuntuk mengontrol pertumbuhan padi dan juga merawat
pertumbuhannya, jangansampai ada tanaman padi yang kurang bagus
pertumbuhannya.
8. ngala pare/panen
Pada tahap berikutnya sekitarusia padi
7 bulan, maka para petani secara bersama-sama melakukan panen atau
menuai padi dengan menggunakan pisau etem dan tanaman padi sisa panen
biasanya diinjak agar terlihat padi yang mana yang belum diambil.
9. moe pare
Padi yang telah dituai selanjutnya
dijemur di pematang huma diatas sebatang bambu yang dibentangkan hingga
padi-padi tersebut kering serta siap untuk ditumbuk atau dimasukan ke
leuit/lumbung padi.
11. mawa pare ka leuit
Padi yang telah dijemur dipematang
huma hingga kering tersebut kemudian dibawa dan disimpan di leuit yang
selanjutnya siap dikonsumsi baik dijual maupun dimakan.
12. jami huma
adalah kegiatan akhir proses penanaman
padi huma/padi tadah hujan, karena untuk mengairi humanya masyarakat
Kanekes hanya mengandalkan turunnya hujan. Kegiatan jami huma ini adalah
kegiatan terakhir dan kegiatan awal untuk memulai apabila akan
datangnya musim hujan
3. Bentuk Rumah dan Proses pembuatannya
Proses pembuatan rumah/membangun rumah
selalu dikerjakan secara gotong royong, yang menunjukkan bahwa
masyarakat Kanekes sangat tinggi rasa kebersamaannya. Adapun bentuk
rumah tidak semewah rumah di kota-kota yang dindingnya menggunakan
pasir, semen, ditata dengan indah, diberikan berbagai aksesoris dan
hiasan dinding sesuai dengan keinginan pemilik rumah, namun pada
masyarakat Kanekes rumah mereka cukup sederhana,terbuat dari bahan-bahan
seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bambu,atap rumbia,
genting ijuk dan lain-lain yang jelas sangat sederhana, dengan posisi
semua rumah selalu menghadap utara selatan, yang secara logika rumah
menghadap utara selatan maka proses pergantian dan penyinaran sinar
matahari sangat baik, apabila pagi sinar matahari masuk dari arah timur
dansore hari sinar matahari masuk dari arah barat, sehingga memiliki
tingkat kesehatan yang sangat tinggi apalagi dengan aktifitas mereka
yang selalu berolah raga setiap hari, namun olah raga yang mereka
lakukan bukan olah raga yang pada umumnya dilakukan, olah raga yang
mereka lakukan adalah olah raga yang berkaitan dengan aktifitas mereka
sehari-hari.
4.Kebiasaan Nyirih/nyeupah pada masyarakat Kanekes Dalam
Pada umumnya nyirih atau nyepah
istilah sunda, dilakukan oleh kaum wanita tua, namum nyirih/nyeupah
selalu dilakukan oleh masyarakat Kanekes baik pria maupun wanita, adapun
manfaat nyirih menurut pengakuan mereka adalah untuk menguatkan gigi,
dan ternyata kebenaran itu terbukti ketika penulis mengamati gigi mereka
umumnya masih terpelihara rapi dan lengkap walaupun bibir, mulut dan
gigi mereka terlihat berwarna kemerah-merah karena sisa nyirih/nyeupah
yang mereka lakukan karena kebiasaan tersebut.
5. Jembatan tanpa paku
Dimanapun adanya yang bernama jembatan
selalu terbuat dari besi, beton atau kayu dan bembu yang diperkuat
dengan menggunakan paku. Berbeda dengan masyarakat Kanekes beberapa
jembatan yang memisahkan perkampungan Kanekes Luar dan Kanekes Dalam
yang dilintasi sungai Ciujung dan sungai Cibaduy tak ada satupun yang
terbuat beton, namun jembatan yang menghubungkan Kanekes Luar dan Dalam
dengan lebar sekitar 12 meter, hanya dibuat dari susunan bambu tanpa
menggunakan paku, tapi untuk memberikan kekuatan pada jembatan tersebut
mereka hanya mengikat dengan tambang ijuk yang pembuatannya pada
ujung-ujung yang bersebrangan selalu dihubungkan dengan pepohonan yang
tumbuh pada dua sisi sungai dan diikat erat dengan menggunakan tali ijuk
berwarna hitam.
6. Pembuatan Gula aren/Merah
Selain bercocok tanam dan huma,
masyarakat Kanekes selalu berupaya mengisi waktu untuk menambah
penghasilannya dengan melakukan kegiatan membuat gula aren ( gula merah )
yang merupakansumber utamanya adalah pohon aren yang ada disekitar alam
pegunungan Kendeng.Hasil dari pembuatan gula aren tersebut sebagian dijual ke pasar dan sebagian dijual dirumah mereka masing-masing.
7. Proses penguburan orang meninggal
Proses perawatan orang meninggal pada
umumnya sama dengan masyarakat luas namun yang unik dan berbeda dengan
masyarakat luas adalah cara penguburan mayat. Pemakaman umum pada
masyarakat Kanekes selalu berada di sebelah selatan dari perkampungan.
Penguburan mayat pada masyarakat Kanekes berbeda dengan masyarakat pada
umumnya, perbedaan tersebut yakni bahwa masyarakat luas umumnya kepala
si mayat berada di sebelah utara dan muka menghadap ke arah kiblat,
namun pada masyarakat Kanekes orang yang meninggal ketika dikubur
mengahadap Barat dan Timur, dengan kepala si mayat berada disebelah
Barat dan muka menghadap ke Utara.
Lebih unik lagi bahwa kita tidak akan
menemukan pemakaman umum, karena cara mereka mengubur/menata kuburan
beda dengan masyarakat luas yakni yang selalu diberi ciri apakah pohon
hanjuang atau pohon plamboyan, namum pada masyrakat Kanekes tidak ada
ciri khusus, bahkan kuburan dibuat rata layaknya tanah datar, dan tidak
ada ciri khusus, apabila mereka berziarah, hanya cukup di rumah saja.
8. Ronda Siang
Pada umumnya, yang namanya ronda
selalu dilaksanakan pada malam hari, dimanapun adanya. Namun berbeda
dengan masyarakat Kanekes terutama masyarakat Kanekes Dalam, masyarakat
Kanekes Dalam selalu melaksanakan tugas ronda pada siang hari, dan pada
hari-hari yang telah ditentukan para pemuda khususnya yang berbaur
dengan beberapa orang tua melaksanakan tugas ronda, mereka tidak harus
kemana-mana, cukup melakukan ronda di sekitar Cibeo saja.Pada malam hari mereka tidur pulas untuk menyongsong pekerjaan yang telah menanti di ladang keesokan harinya.
9.Binatang Kaki empat
Di daerah mana di Indonesia ini yang
tidak ada binatang berkaki empat, yang dagingnya dapat dimanfaatkan atau
dimakan, misalnya: kuda, sapi, kerbau, kambing, babi, onta atau
binatang kaki empat lainnya. Binatang kaki empat selain anjing saja
tidak ada, apalagi ojeg.
Selain anjing kita tidak akan pernah
menemukan binatang kaki empat di Baduy. Kerbau, sapi, kuda, onta atau
lainnya tidak akan pernah kita temukan di sana. Alasan mereka cukup
singkat dan padat, yaitu karena adanya larangan adat.
Dengan larangan adat saja mereka
sangat mentaati. Tidak ada bantahan-bantahan apalagi melanggarnya.
Itulah ketaatan masyarakat Kanekes yang selalu patuh dengan kebiasaan
dan adat yang sudah melekat dalam diri mereka sebagai warisan leluhur
mereka.
Dengan palsafah ” Lojor
teumeunang dipotong, pondok teu meunag disambung”, masyarakat Kanekes
tidak pernah mengada-ada, akan tetapi mereka hidup apa adanya dengan
memanfaatkan alam yang ada tapi tidak merusak alam, menggali potensi
alam, tapi alam tidak carut marut, mengolah lahan huma, tapi
keseimbangan alam tetap dijaga. Selama potensi Masyarakat Kanekes dan
adat istiadatnya tetap dijaga, maka berbahagialah seluruh umat manusia.
“Seribu atau dua ribu ekor pun
tetap tidak dapat. Engkau pintar. Ikan peda, banyak di kedai dan di
toko. Ia tak bernyawa, tak dapat bergerak. Engkau boleh mengambil sesuka
hatimu, asal ada uang. Tapi kancil makhluk bernyawa. Dikejar, ia lari,
disergap, belum tentu dapat. Andaikata permintaanmu itu kusanggupi,
besok atau lusa pedamu sudah ada di sini, sedang kancilku belum tentu
ada. Betapa mungkin manusia “tigin ka jangji bela ka lisan” (memenuhi
janjinya dan perkataannya).Apabila kancil itu ada di tanganku sekarang
atau esok hari, dan engkau ada didepanku, mengapa harus ditukar dengan
peda, engkau boleh makan dagingnya sekenyang-kenyangnya”.