Falsafah Pendidikan untuk Pengadapan Manusia
Pendidikan itu berbeda dengan persekolahan. Memang tidak selalu dua yang
bertentangan. Namun dua benda ini memang harus dibedakan, karena banyak
orang dibingungkan oleh keduanya.
Banyak orang beranggapan dia sedang menerangkan topik pendidikan, ternyata yang dimaksud adalah sekolah atau persekolahan.
Pendidikan adalah substani dan isi sementara persekolahan adalah sistem,
sarana dan gedung. Cukup sering sarana memberikan bantuan. Tetapi dalam
beberapa dekade ini, dalam banyak kasus, sekolah dengan segala sepatu,
buku, administrasi, uang gedung, ijazah dan masih banyak aksesori lain
lebih banyak mengganggu pendidikan daripada membantu.
Sekarang ini kita banyak diskusi mengenai Standar Nasional Pendidikan,
UU tentang Guru dan Dosen (ada lagi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan
yang dikeluarkan pada tahun 2005). Anehnya semua undang-undang
pendidikan ini bukanlah persoalan pendidikan. Ia hanyalah setitik kecil
persoalan teramat panjang dari persekolahan. Langsung tidak langsung
adanya sekolah telah menambah biaya (uang, mental, energi, fisik) yang
harus dipikul masyarakat untuk mengenyam pendidikan.
Lalu pertanyaan berikut, mengapa kita hanya bisa mengeluh dan meratapi
suasana itu? Beranikah kita melawan dan tampil beda dari mereka? “kita”
di sini yang disebutkan disini selalu mengandalkan gerakan bersama.
Protes harus dikerjakan bersama-sama agar berubah menjadi proyek
kesadaran.
Masihkan kita punya keberanian untuk kembali pada ‘pendidikan’ yang
menjadi substansi, bukan persekolahan yang terus-menerus menjadi sumber
carut-marutnya pendidikan. Kita mesti sadar bahwa yang mutlak untuk kita
adalah kembali pada filsafat pendidikan yang solid: mendidik orang
menjadi berilmu dan memiliki etos dan punya displin tanpa menjadikan
anak didik seperti robot dan patung emas.
Pendidikan dan Filosofi Sang Guru
Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menulis tentang filosofi sang
guru, “Guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan
angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung.” Pengalaman
Hirata yang dituliskan dalam bentuk novel ini membuka hati kita akan
peran dan filosofi seorang guru sebagai pendidik dan pengajar untuk
membebaskan para peserta didik dari kegelapan menuju pencerahan.
Harapan bagi para guru untuk membebaskan anak-anak bangsa dari kegelapan
belum tercapai. Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia,
tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru karena mempunyai peran
sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan fundamental dalam
sistem pendidikan nasional adalah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya
pendidikan menghormati dan menghargai martabat manusia beserta segala
hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya
sebagai subyek melalui proses pendidikan. Tapi yang sedang terjadi
adalah justru sebaliknya. Ada terlalu banyak pratik-pratik sekolah yang
menunjukkan betapa peserta didik sudah diperlakukan sebagai objek demi
kepentingan ideologi, politik, industri,dan bisnis.
Guru sebagai pendidik tidak mampu mengembangkan kesadaran untuk
menghentikan gejala dehumanisasi ini dan membebaskan peserta didik dari
kegelapan karena para guru merasa terjebak sebagai objek dalam sistem
pendidikan nasional. Berikut kami tampilkan sebagian kecil realitas
belenggu kemiskinan yang dihadapi guru yakni:
1. Dengan gaji dan tunjangan yang kurang memadai, guru terlalu sibuk mencari penghasilan tambahan.
2. Dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang
membebani, guru sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan
diri akibatnya pengetahuan, wawasan dan kreatifitas guru sulit
berkembang.
3. Guru yang seharusnya berperan sebagai aktor dalam proses
pembudayaan transformasi nilai-nilai malah sebagai guru malah melakukan
pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi
peserta didik dan bahkan membocoran soal ujian sendiri atau terlibat
sebai saksi yang menutup mulut atas beberapa tindakan manipulasi dan
korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.
4. Akhirnya belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional
dan kultural sering membuat guru kehilangan indentitas dan integritas.
Pekerjaan sebagai guru tidak lagi dilandasi oleh spiritualitas profesi
dan tidak menjadi bagian perjalanan kemanusiaan.
Pendidikan tidak pernah lepas dari wibawa dan peranan guru. Maka dalam
cahaya pradigma baru kita perlu berupaya mengangkat derajat guru. Di
tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, peraturan
pemerintah No.19, tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan
undang-undang no.14, tahun 2005 tentang guru dan dosen yang diluncurkan
dengan itikad baik diantaranya mengatur profesionalisme guru dan
memberikan jaminan terhadap perlindungan dan kesejahteraan guru.
Sementara yang menjadi janggal adalah persoalan konseptual pendidikan
profesional guru masih belum terselesaikan, program porfotfolio sudah
langsung dijalankan untuk menilai kompetensi seorang guru. Akibatnya
berbagai akses (misalnya keikutsertaan dalam program pendidikan dan
pelatihan hanya demi sertifikat, ada manipulasi berkas, dan kolusi
antara pemilik fortofolio dan penilai) sangat menodai profesi guru dan
bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya.ini
problema guru yang dihadapi di Indonesia.
Terlepas dari segala tetek bengek peraturan yang dibuat oleh pemerintah
satu hal penting dalam mendidik adalah bahwa guru harus bepegang pada
filosofi pengajaran yakni semangat sebagai guru secara terus-menerus
harus mengaitkan tiga hal yakni dirinya sendiri, anak didik, dan bidang
pengetahuan/keterampilan yang diampunya. Berbagai kemampuan yang
diharapkan dimiliki dan dikembangkan seorang guru seyogianya menjadi
bagian tak terpisahkan dari sosok utuh kompetensi profesional seorang
pendidik.
Perwujudan Falsafah Pendidikan
Peter C.Hodgson, seorang ahli pendidikan melihat sosok Allah sebagai
Pendidik utama dalam transformasi hidup sejarah manusia dan menawarkan
sejarah Pendidikan Allah. Peter C.Hodgson menjungkirbalikkan
berhala-berhala pendidikan modern yang banyak merusak manusia antara
lain memaksa anak untuk berprestasi sedemikian hebat dengan sistem
pemaksaan jadwal yang sangat ketat. Peter menawarkan inti falsafah
Pendidikan yang di dalamnya ada roh kasih, kebenaran, dan keadilan.
Menurut Hodgson pendidikan harus menyingkapkan kebenaran dan
menyelematkan umat manusia dari kesesatan (the darkness of error) dan
berhala (idolatry). Karena itu dalam konteks pendidikan mesti disadari
bahwa akal budi di satu sisi adalah tanda kemuliaan Ilahi, tetapi
sekaligus menjadi potensial menjadi sumber penderitaan manusia yang tak
terperikan.
Kita perlu menebus budi namun tidak menggusurnya. Kita perlu memerangi
kejahatan yang disebabkan oleh akal budi. Pendidkan bertujuan membeirkan
tanggapan terhadap panggilan akan kebenaran. Inilah rangkuman seluruh
roh pendidikan. Lepas dari sini maka pendidikan akan tidak berdaya
guna.
Semuanya bisa berjalan dengan baik karena ada kerja sama. Kerja sama,
iman, kasih, dan solidaritas menjadi inti falsafah pendidikan. Karena
itu dalam konteks menerapkan falsafah pendidikan perlu diperhatikan
tiga C yakni
Competensi = dapat diandalkan dan berdaya guna.
Compassion = berempati kepada orang lain.
Conscience = memiliki kesadaran moral (beriman).
Dengan tiga C yang ditanamkan dalam pendidikan hasil yang diharapkan
adalah manusia terdidik yang memiliki kharakter. Kita mengharapkan
setiap anak didik yang dididik tumbuh menjadi manusia berkarakter
(memiliki kepribadian yang tangguh). Menurut Ernest Hull, seorang Jesuit
pendidik dari abad lalu, pembentukan karakter dimulai dengan “tujuan
yang hendak dicapai.” Kita perlu berfantasi, membayangkan karakter yang
hendak dibangun pada siswa. Agar berkarakter maka setiap anak didik
perlu didorong untuk disiplin, dikondisikan untuk tidak mencontek,
bermental juara dan bahkan jiwa seni mereka pun perlu dikembangkan.
Pendidikan karakter adalah bagian integral upaya mendampingi peserta
didik untuk mengembangkan potensi manusiawi mereka. Maka tanggungjawab
sekolah adalah membantu peserta didik untuk mengubah potensi manusiawi
menjadi tindakan konkret. Pendidikan karakter ini juga untuk memberikan
visi etis kepada peserta didik.
Visi etis diharapkan menempatkan diri mereka pada horizon yang lebih
luas. Pendidikan yang mengabaikan pembentukan visi etis dikawatirkan
hanya akan menjadi proses pemindahan pengetahuan yang tidak berakar
berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan karakter dengan
demikian diharapkan dapat membantu peserta didik untuk menjadi pribadi
yang semakin manusiawi dan beriman.
Pintar saja tidak cukup tetapi perlu mendidik anak-anak di sekolah
Katolik agar bisa berempati, beriman dan lebih manusiasi. Manusia
berkarakter (manusia beradab) merupakan salah satu tujuan filsafat
pendidikan.