Minggu, 01 Januari 2017
Sampai Kapan Kekayaan Alam Indonesia Dikuasai Asing?
27 July 2015oleh Membunuh IndonesiaTambahkan komentar6,620 kali dilihat3 menit dibaca
Di dalam negara seribu pulau ini tersimpan kekayaan alam melimpah berupa hasil tambang. Jika negara bisa memanfaatkan hasil tambang ini secara mandiri, rakyat Indonesia hidup sejahtera. Kenyataan tidak berpihak pada rakyat. Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan alam tersebut dikuasai dan diekspoitasi pihak asing.
Paling mengherankan adalah eksploitasi sumber daya alam di Pulau Papua. Dua gunung kembar yang berada di Pulau Papua yang di dalamnya tersimpan hasil tambang berupa emas dikuasai oleh perusahaan Amerika, Freeport Sulphur of Delaware. Masuknya Freeport ke Indonesia terjadi saat pemerintahan beralih tongkat dari Soekarno ke Soeharto.
Jumat 7 April 1967 perusahaan Freeport Sulphur of Delaware Amerika Serikat menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahaan yang dibuat untuk kepentingan ini.
Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green. Dimulailah penghisapan atas tanah dan kekayaan alam Indonesia ketika rezim orde baru berkuasa. Indonesia menjadi negara boneka Amerika.
Padahal, Soekarno mati-matian menjaga kedaulatan Indonesia, agar bangsa ini mandiri dan merdeka sepenuhnya. Pada 1961, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia. Langkah-langkah yang digencarkan oleh pemerintahan Soeharto sangat bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh Soekarno.
Sudah berapa ton emas yang dikeruk. Sudah berapakah keuntungan yang didapat oleh bangsa asing tersebut. Di Indonesia sendiri masih banyak rakyat miskin dan tidak bisa bersekolah. Masih banyak rakyat yang kelaparan. Sungguh ironis nasib bangsa Indonesia. Kekayaan alam hanya dikeruk oleh bangsa asing.
Warga Papua semakin terasing di negeri sendiri. Masyarakat yang hanya mengambil sisa-sisa tambang atau tailing saja dilarang. Warga Papua dianaktirikan pemerintah pusat. Pemerintah lebih berpihak pada Freeport dan hanya memikirkan keuntungan royalti 1,2% dari Freeport. Ketika saudara sendiri dianiaya, sebagian kita cuma ongkang-ongkang kaki menikmati keuntungan mengalir. (Baca: “Izin Freeport Memperpanjang Keterasingan Warga Papua”)
Negara masih menjadi antek asing. Mengabaikan hak atas kepemilikan tanah dan sumber daya alam sendiri. Mengabaikan kesejahteraan rakyat, penghormatan martabat manusia serta supermasi hukum, terutama terhadap rakyat Papua. Politik ekonomi pembangunan masih terus berlangsung memperpanjang barisan perbudakan di tanah sendiri. (Baca: “Penjajahan Tanah Papua Terus Berlanjut”)
Bukan hanya terjadi di tanah Papua, tapi di seluruh pulau lain. Negara benar-benar sudah digadaikan kepada pihak asing. Sebagai perbandingan, pada Juni 2015, tanah Nusa Tenggara Barat dikeruk hasil buminya untuk diekspor ketiga negara—Korea Selatan, Jepang, dan Philipina—dengan total sebesar 93,59 persen, atau senilai US$80,3 juta (Data BPS NTB, Juni 2015). Itu baru dari provinsi kecil, belum dari provinsi besar lainnya.
Sumber gambar: letstravelsomewhere.com
asing eksploitasi Papua tambang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar