Minggu, 01 Januari 2017
Sejarah Bhineka Tunggal Ika
Kalimat semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali dimuat dalam sebuah karya berjudul Kekawin Purusadasanta (Kitab Sutasoma), yang ditulis oleh Mpu Tantular tujuh abad silam pada zaman kerajaan Majapahit. Kalimat tersebut sebenarnya dibuat Mpu Tantular untuk menyatukan perbedaan yang ada dalam dua agama besar saat itu, yakni Buddha dan Hindu. Bunyi lengkap Bhinneka Tunggal Ika, seperti yang termuat dalam kitab tersebut adalah sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mengrwa. Artinya: bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Tercepah belah, tetapi satu jua, artinya tidak ada dharma yang mendua.
Moh. Yamin merupakan tokoh yang pertama kali mengusulkan agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut diadopsi menjadi semboyan Negara. Usul ini diterima oleh Soekarno dan ikut menjadi pembahasan dalam rapat BPUPKI. Akhirnya, semuanya sepakat untuk menjadikan kalimat ini sebagai semboyan bangsa Indonesia bersama-sama dengan burung Garuda yang ditetapkan sebagai lambang negara Indonesia.
Arti Bhineka Tunggal Ika
Lantas, apa arti dari semboyan Bhineka Tunggal Ika? Kalimat Bhinneka Tunggal Ika terdiri dari tiga suka kata, yakni Bhinneka, Tunggal, dan Ika. Dalam ungkapan Jawa Kuno, masing-masing kata tersebut memiliki arti; "Bhinneka" berarti "beragam", "Tunggal" berarti "satu", dan "Ika" berarti "itu". Sekarang ini, gabungan dari semua kata tersebut umum diartikan sebagai "Berbeda-beda tapi tetap satu jua".
Bagi bangsa Indonesia, kalimat ini merupakan kalimat pengikat atau pemersatu. Kalimat tersebut mempunyai makna agar masyarakat utuh dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang bersatu tidak mudah terpecah belah serta kokoh dalam menghadapi ancaman.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar