Minggu, 27 November 2016

 Filsafat Hukum keluarga islam


 Pengertian Hukum Islam
          Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqih, hukum Allah Swt dan yang seakar dengannya. Sedangkan kata-kata hukum Islam itu sendiri merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari litertur Barat[1], kemudian Hukum Islam menjadi istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah                   al-Islamy yang penjabarannya disebut dalam istilah fiqihnya sebagai :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ اَوْ فقيه عنه
Artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya ” .
 Atau dengan istilah yang lainya :
اِثْبَاتُ شَّئٍ عَلىَ شَيْئٍ
Artinya ”  Menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain ”.
          Maka para ulama ushul fiqih menetapkan suatu definisi hukum Islam antara lain :
١. خِطََابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ بِالاْ ِقْتِضَاءِ
 اَوِ التَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ
Artimya : “ Firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun bersifat wadl’i ” [2]. 

٢. خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِقُ بِأَفْعَالِ الْمَكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوِ التَّخْيِيْرِ            اَوِ الْوَضْعاً
Artinya : “ Khitab ( tatah ) Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan ( perintah dan larangan ) atau semata-mata menerangkan pilihan ( kebolehan memilih ) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum “[3].
           Dengan demikian, kata Hukum Islam merupakan formulasi dari Syari’ah dan Fiqihsekaligus. Artinya, meskipun Hukum Islam merupakan formula aktivitas nalar, ia tidak bisa dipisahkan eksistensinya dari Syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah Swt sebagai al-Syar’i[4]. Oleh karena itu, penyebutan Hukum Islam sering dipakai sebagi terjemahan dari Syari’at Islam atau Fiqih Islam.
          Apabila Syari’at Islam diterjemahkan sebagai Hukum Islam ( Hukum in abstracto ), maka berarti syari’at Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian Syari’at Islam meliputi aspek اَلاْ ِعْتِقَادِيَة , الخاقية dan الشرعية .  Akan tetapi sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari Fiqih Islam, maka hukum Islam termasuk kajian ijtihadi yang bersifat dzanni. Sedangkan pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqih maupun belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqih islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto( pada tataran fatwa atau doktrin ) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto ( pada tataran aplikasi atau pembumian ). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan negara yang mengikat dalam suatu negara. Namun demikian, agar mendapatkan pemahamana yang benar tentang hukum Islam, maka yang harus dilakukan menurut Muhammad Daud Ali adalah sebagai  berikut :
a. Mempelajari hukum Islam dalam kerangka dasar, dimana hukum Islam menjadi bagian yang utuh dari ajaran dinul Islam.
b. Menempatkan hukum Islam dalam satu kesatuan :
احكام الشرعية العملية , احكام الشرعية العملية الا عتقادية , احكام الشرعية الخاقية
c. Dalam aplikasinya saling memberi keterkaitan antara syari’ah dan Fiqih yang walaupun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
d. Dapat mengatur tata hubungan kehidupan, baik secara vertical maupun horizontal[5].
          Dengan paparan tersebut diatas, maka Istilah hukum Islam telah dipakai oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya ” Pengantar Hukum Islam ” dan A. Hanafi dalam bukunya ” Pengantar dan Sejarah Hukum Islam ”.  Hasbi     Ash-Shiddieqy membahas sebagian besar tentang Ushul Fiqih, sedangkan A. Hanafi membahas lebih banyak tentang Syari,ahFiqih dan Ushul Fiqih.
          Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam telah mendefinisikan hukum Islam dengan ” Koleksi daya upaya para fuqaha’ dalam menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat ”[6] atau dengan kata lain :
 مَجْمُوْعُ مُحَاوَلاَتِ الْفُقَهَاءِ لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجَاتِ الْمُجْتَمَعِ
Pengertian ini tampaknya lebih relevan dengan pengertian Fiqih, Dengan demikian, maka hukum Islam berarti : ” seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ”[7].
          Muhammad Daud Ali menyatakan, manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud Syari’at Islam atau Fiqih Islam ? Syari’at Islam adalah hukum Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan Fiqih adalah perumusan konkret Syari’at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu disuatu tempat dan di suatu masa[8]. Sedangkan Cik Hasan Bisri mengemukakan bahwa hukum Islam mencakup dimensi abstrak, yakni dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya; dan bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan  Rasul-Nya[9].
          Hukum Islam sebagai unsur normatif dalam menata kehidupan manusia, berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran agama Islam sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kedua sumber tersebut selanjutnya dijadikan patokan dalam menata hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan makhluk Allah Swt lainnya.
          Karena hukum Islam dibangun atas prinsip taukhid, yang dengan prinsip itu ia memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasulnya-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Prinsip ini menjadi dasar dan landasan dalam perumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan ( al-awamir ) dan apa yang dilarang atau mesti ditinggalkan ( al-nawahiy ) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang di internalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala dilakukan transaksi ( uqubad ) di antara manusia baik antar individu ( al-ahwal al-syakhshiyyah ) maupun antara individu dengan masyarakat termasuk yang berhubungan dengan hak-hak kebendaan ( al-madaniyyah ), dengan berpatokan kepada hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan ( al-qadha’ )[10]. Selanjutnya ada beberapa dimensi hukum Islam berkaitan dengan graduasi dan kawasan hukum tersebut. Hal yang demikian karena hukum Islam merupakan wujud hukum yang konkret, dibandingkan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang memproduknya. Dimensi-dimensi tersebut yaitu : syari’ah, ilmu, fiqih, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha dan adat. Kesembilan dimensi hukum Islam itu tumbuh dan berkembang di dunia Islam dan terinternalisasi dalam berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman, terutama di Indonesia[11].
          Jadi dari definisi yang dikemukakan diatas dapat difahami bahwa hukum Islam itu mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih, karena dua istilah yang dipakai untuk menunjukkan hukum Islam, yakni Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqih sudah termaktub di dalamnya.
          Dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam sering dipergunakan kata-kata hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan hukum fiqih atau kadang-kadang hukum ( fiqih ) Islam. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali kedua istilah itu dirangkum dalam kata ” Hukum Islam ” tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini sangat dipahami karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat dibedakan akan tapi sulit untuk dipisahkan.

[1]. Dimana telah menjelaskan bahwa : “ Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah Swt yang mengatur prilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya “. Dari definisi ini arti sebenarnya hukum Islam lebih dekat dengan Syari’at Islam, Joseph Schacht ( Terj ) Joko Sopomo ( 2003 ). Pengantar Hukum Islam, Jakarta : Islamika,  hal : 1.
[2] . Al-Baidhawi ( 1982 ). Minhaj al-Ushul, I, Bairut : Alam al-Kutub, hal : 47.
[3] . Muhammad Abu Zahrah ( 1994 ). Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, hal : 26.
[4] . Ahmad Rofiq ( 2001 ). Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,  Jogyakarta : Gema Media, hal : 23.
[5] . Zainuddin Ali ( 2006 ). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,                hal : 2 – 3.
[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy ( 1975 ). Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hal : 44.
[7] Amin Syarifuddin ( 1990 ). Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, hal : 18.
[8] . Muhammad Daud Ali ( 1989 ). Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam UUD 1945, Jakarta : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, hal :  28.
[9] . Cik Hasan Basri ( 2001 ). Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung : Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal : 29.
[10] . Ibid, hala : 33-34.
[11] . Ibid, hal : 34.
Makna Kebahagiaan Dalam Keluarga


Makna bahagia di dalam keluarga berkaitan dengan tingkat problem yang 
dihadapinya. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan keluarga bukan ketika 
akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah 
membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di 
pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Hidup berumah 
tangga bagaikan mengarungi bahtera di tengah samudera luas. Lautan kehidupan 
seperti tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah.  
Memasuki lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu 
kebahagiaan. Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga 
keluarga. Akan tetapi setelah periode impian indah terlampaui orang harus 
menghadapi realita kehidupan. 

Sunnah kehidupan ternyata adalah problem Kehidupan kita, tak terkecuali dalam 
lingkup keluarga adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun 
yang hidupnya terbebas dari problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justeru 
terletak pada kemampuan seseorang mengatasi problem. Sebaik-baik mukmin adalah 
orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al mu'min mufattanun 
tawwabun.(hadis). Problem itu sendiri juga merupakan ujian dari Allah, siapa 
diantara ,mereka yang berfikir positif, sehingga dari problem itu justeru lahir 
nilai kebaikan, liyabluwakum ayyukum ahsanu amala (Q/67:2) liyabluwakum fi ma a 
ta kum (Q/6:165) Menurut hadis Nabi, menemukan pasangan yang cocok 
(saleh/salihah) dalam hidup berumah tangga berarti sudah meraih  separoh urusan 
agama, separoh yang lain tersebar di berbagai bidang kehidupan. Hadis ini 
mengambarkan bahwa rumah tangga itu serius dan strategis. Kekeliruan orientasi, 
keliru jalan masuk, keliru persepsi, keliru
 problem solving dalam hidup rumah tangga akan membawa implikasi yang sangat 
luas. Oleh karena itu problem hidup berumah tanga adalah problem sepanjang 
zaman, dari sejak problem penyesuaian diri, problem aktualisasi diri, nanti 
meluas ke problem anak, problem mantu, cucu dan bahkan tak jarang suami isteri 
yang sudah berusia di atas 60 masih juga disibukkan oleh problem komunikasi 
suami isteri, hingga kakek dan nenek itu bisa meraih kebahagiaan.

Oleh sebab Itu makna bahagia di dalam keluarga berkaitan dengan tingkat problem 
yang dihadapinya. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan keluarga bukan 
ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu 
telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, 
dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Sungguh 
orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan 
cucu-cucunya nya sengsara dan hidup susah, meski perjalanan bahtera rumah 
tangganya penuh dengan kisah keberhasilan. Kebahagiaan di dalam keluarga hadir 
setelah kita mampu mengatasi problem sepanjang kehidupan rumah tangga. Menurut 
hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga 
(1) isteri/suami yang setia (2) anak-anak yang berbakti (3) lingkungan sosial 
yang sehat dan (4) rizkinya dekat. Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, 
anak-anak yang berbakti menjadikannya
 sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir 
dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan kegigihan.

“Filsafat Melankolik tentang Cinta”

MELANKOLIS CINTA
“I am standing in love with you.” begitulah ungkapan yang lebih tepat menurut Erich Fromm, dan bukan “I am falling in love with you”. Melalui artikel ini, saya hendak mendiskusikan persoalan ini secara filosofis.
Sebelumnya saya hendak mengurai apa yang saya pahami dan percayai tentang konsep cinta. Cinta itu cinta ketika dia tidak destruktif. Cinta adalah perasaan keterikatan yang mendalam – ibarat jiwa manusia itu berlapis, mencintai mampu menembusnya; untuk si pecinta atau yang dicintai, sepihak, atau dua belah pihak. Cinta menyatukan kita dengan dunia – si objek cinta dan oranglain sebagai manusia, sekaligus membuat kita juga independen. Kita tidak menjadi budaknya atau penguasanya, tetapi kita menjadi diri kita dalam artian yang sesungguhnya. Singkat kata, cinta memampukan kita merelasikan diri dengan elemen-elemen lain di kosmik ini – apapun manifestasinya – kesadaran internal atau eksternal, mental atau instrumental. Tergantung dari derajat yang tumbuh dalam diri kita ketika mencintai. Cinta idealnya membuat kita produktif sebagai manusia melampaui sekat-sekat yang dibangun oleh produk sosial yang massif. Kita mencipta dengan cinta, alih-alih merusak – terlepas dari apapun, siapapun, dan bagaimanapun objek cinta kita – karena objek cinta kita sendiri juga anasir yang independen.
Dalam hidup ini manusia mencari makna. Buat saya makna itu fragmen hakiki yang dicari oleh manusia ketika dia hidup – tak dari sekedar konformitas atau konsensus yang dibebankan kepadanya, tapi dari ke-diri-annya sebagai individu. Makna ini membuat manusia memahami, pelan-pelan, meski takkan pernah utuh, akan keberadaannya, identitasnya, segala sesuatu yang berada dalam dirinya dan relasinya dengan dunia.
Saya membagi perspektif mencintai ke dalam dua ranah: (1) Realita aktual (hal-hal realistis, fungsional, dan pragmatis) dan (2) Realita potensial (memiliki kecenderungan dan kemampuan untuk terwujud ataupun tidak terwujud karena ada secara inheren, dan abstrak). Keduanya tak sepenuhnya terpisah, karena dalam derajat tertentu kita harus memadukan kedua realita itu.
(1)    Realita Aktual: Pragmatis-Fungsional
Tak terhindarkan bahwa kata ‘cinta’ mengalami komodifikasi, eksploitasi, dan manipulasi sebagai bahan industri budaya massa. Atas nama ‘cinta’ kita digempur oleh lagu-lagu ‘cengeng’, sinetron-sinetron dungu, dsbnya. Cintapun mengalami pendangkalan. Di satu sisi sistem sosial kita telah memapankan institusi, pengakuan, dan formalisasi atas nama cinta – bahwa dua orang yang mencintai harus di’status’kan – menikah, pacaran, tunangan, apapun itu. Dalam tahap ini, cinta mengalami ‘pem-bumi-an’, dan tentu saja hal ini memang perlu.
Ketika kita mencintai, kita tak bisa ‘makan’ cinta – kita harus beradaptasi dengan seperangkat norma dan kebutuhan sosial untuk bertahan. Di satu sisi, muncul anggapan yaitu ketika kita mencinta, kita perlu menuntut hal yang sama dari orang yang kita cintai. Kita harus mencintai dengan imbal balik. Pamrih. Kalau orang itu menolak, maka seperti saklar yang dimatikan, cinta kita bisa lenyap seketika – atau dilenyapkan paksa demi mencegah kita dari terluka.
Pragmatisme pun muncul. Gugatan seperti “Untuk apa saya cinta dia kalau dia tidak pernah ‘memberi’ saya apa-apa?” muncul dalam beragam bentuk, cinta diasumsikan seperti alat barter. Kita beri ke seseorang supaya kita dapat yang kita inginkan, entah barang, atau kata ‘cinta’ dari mulutnya. Cinta yang awalnya dirayakan sebagai sesuatu yang instingtif lalu sekedar menjadi suplemen ketika dihadapkan pada tuntutan konformitas sosial: cinta harus didampingi oleh kemampuan menghasilkan uang (menafkahi), menyediakan fasilitas (barang, rumah, dsbnya), dan memenuhi kebutuhan pokok (makanan, seks, dsbnya). Meski dalam banyak kasus hal ini berjalan baik bagi banyak manusia – setidaknya di permukaan, kadang dengan tuntutan-tuntutan ini dalam perjalanannya cinta mengalami pembusukan dan ‘materialisasi’ karena kegagalan meredefinisi cinta. Akibatnya, cinta bertransformasi menjadi sekedar ilusi, perekat usang, dan bermutasi menjadi destruktif.
Di satu sisi ada argumen bahwa cinta bisa tumbuh seiring dengan terpenuhinya kebutuhan atau kewajiban kita yang lain. Menurut mereka, cinta bisa tumbuh kemudian. Ada juga yang menganggap cinta urusan belakangan yang penting mereka menikah untuk alasan misi keagamaan, kehormatan keluarga, status sosial, atau sokongan finansial. Ada juga yang mencatut embel-embel ‘cinta’ demi sekedar mendapat kepuasan seksual atau status tertentu di lingkungannya.
Dari sini, ‘cinta’ dicatut secara mekanis. Sementara cinta sejati amat mungkin timbul dari proses ini, namun ada konsekuensi yang rada aneh. Ketika sistem perjodohan yang berlangsung lewat mekanisasi ini gagal, si pelamar cinta bisa dengan mudah beralih ke pencarian lain. ”Lamaran saya ditolak si fulan. Bisa tolong carikan yang lain?”
Atau sebaliknya. Ketika seseorang jatuh cinta, dan cintanya tidak berujung pada adanya timbal balik dari si objek cinta atau formalisasi, si pecinta ini jatuh pada keputusasaan, frustrasi, kemarahan, kekecewaan mendalam, atau akhirnya menjadi destruktif. Seringkali hal ini disebabkan karena ketika dia merasakan ’cinta’ maka cinta itu menjadi suplemen pragmatismenya. Dia memberi dan menuntut materialisasi dari cintanya.
Alhasil, dampak dari pragmatisme cinta adalah ketika kita hanya ingin dan berani mencintai kalau ada pamrih, janji, garasi, atau ’uang muka’.
Hal itu sah saja kalau dilihat dari sudut pandang bahwa manusia pada satu level hidupnya menginginkan rasa aman melalui apapun – ”peduli setan” dangkal atau mendalam, yang penting ada stimulus ’bahagia’. Namun untuk tulisan ini saya hendak membagi wacana tentang cinta secara filosofis, yaitu cinta substantif dan transenden. Menurut saya ini prinsipil kalau kita hendak bicara pada level lain dalam hidup manusia, dan saya percaya kedua level realita ini dimungkinkan berjalan simultan.
(2)    Realita Potensial: Substantif-Transenden
Secara garis besar, paparan definitif dalam poin kedua ini sudah saya tulis di awal – yaitu terkait dengan produktivitas, relasi dengan kosmik dan manusia, sekaligus peneguhan independensi kita sebagai individu. Karena itu, saya pikir, ketika kita mencintai secara substantif maka ia menjadi substance – inti terpenting dalam ke-diri-an kita, yang menimbulkan dorongan untuk memberi kepada si objek cinta. Memberi dalam bentuk apapun, karena secara naluriah kita menjadi produktif.
Kita merasa ada bagian dari fragmen di diri kita yang terlengkapi. Kita merasa menemukan makna dari semrawut serpih-serpih hidup kita yang penuh tanda tanya. Kita dikonfrontasikan oleh paradoks: munculnya kebingungan sekaligus jawaban, kepedihan sekaligus kebahagiaan, masa lalu sekaligus masa depan.
Momennya berkisar seputar penundaan sempurna – tiada yang utuh, tunggal, absolut – tapi ada yang membuat kita menyanggupi.
Mencintai itu substantif dalam artian kita berani. Kita berani untuk mencintai tanpa bergantung sepenuhnya pada ekspektasi imbalan. Kita melihat si objek cinta dengan kepedulian dan merecapi rasa cinta sebagai bagian dari kesadaran akan eksistensi kita, dan bukan tumbuh dari materialisme yang mengitari kita. Kita berani untuk menghadapi rasa takut itu – takut ditolak, dilukai, tak terwujud secara institusi, tak diakui, tak bisa memenuhi prasyarat-prasyarat sosial dan material, dsbnya – karena mencintai berada jauh di inti.
Mencintai tak membuat kita mengurung diri di kamar dalam sentimentalisme tanpa akhir. Mencintai justru membuat kita ingin melangkah ke luar dan menyapa kehidupan. Kita akan berkreasi. Secara otomatis dorongan mencintai membuat kita tak bergantung pada suplemen kehidupan, melainkan membuat kita ingin meraihnya. Cintalah yang sebagian menjadi penggerak kita untuk mendapat fasilitas dan hal-hal material dalam hidup, bukan kebalikannya. Mencintai membuat kita emosional, tapi juga rasional. Terkait tapi mandiri. Kita berpikir, tak hanya melamun. Kita berproduksi, tak menuntut konsumsi. Mencintai juga tidak mendehumanisasi, memaksa, maupun menjadikan kita budak. Kita bisa kehilangan rasa cinta ketika sudah terjadi unsur destruktif – baik dari diri kita atau objek cinta kita, dan itu adalah pilihan rasional dan manusiawi.
Mencintai itu transenden dalam artian ia melampaui sekat-sekat yang berada di sekitar kita dan kotak sosial yang kita terkubang di dalamnya. Bukan berarti hal-hal semacam itu tak penting, namun formalisasi dan pengakuan akan cinta kita adalah perayaan sosial – artinya, dirayakan syukur, tidak dirayakan pun tak apa. Cinta substantif hanya dapat dirasakan saat momen transendensi itu meretas dalam pengalaman kita. Kapasitasnya yang inheren di dalam diri kita tak berkurang oleh penolakan maupun ketiadaan pengakuan atau formalisasi. Kekuatan transendennya akan merayakan rasa berbalas, formalisasi, status, pamrih dan fasilitas fisik dan material yang mungkin kita dapat dari si objek cinta, tapi juga akan menyanggupi rasa ‘luka’ – karena mencintai itu sendiri telah menyanggupi kita sebagai individu yang independen.
Dalam tahap ini, elemen-elemen pragmatis tak menjadi prasyarat – karena dia perlahan akan hadir dengan sendirinya – dan yang relevan adalah bahwa kita standing in love, bukan falling in love. Ketika kita mencintai, kita tidak jatuh, melainkan mendampingi dengan kedua kaki kita yang berdiri melampaui apa-apa yang tersekat, terbebankan, dan terkomodifikasi. Cinta eksis dalam perayaan sosial atau dalam kesunyian yang mempesona, mungkin kelam atau tidak. Tapi itulah makna.

Kamis, 24 November 2016

FILSAFAT CINTA

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang . Allah berfirman:dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
mengatakan: dalam haditsnya dari shahabat Tsauban Rasulullah ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang menjawab:dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allahmengikuti Rasulullah maka kecintaankepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binRasulullah :Malik
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah .
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
berfirman:Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf:
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta
mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
menyatakan: “Dasar tauhid danAsy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Ketika seseorang seringsekali bercerita tentang kebenciannya pada sesuatu, apakah itu benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak cinta?
salah seorang tokoh besar, Fariduddin al Attar pernah bercerita, bahwa ada seorang tokoh (?) yang berkunjung ke tempat Robi’ah al adawiyah, ulama besar ahli mahabbah,
si tamu tersebut selama berada di tempat robiah yang diceritakan adalah betapa jeleknya dunia itu, betapa buruknya dunia itu, betapa menipunya dunia itu, dan betapa ia bencinya dunia itu.
Robi’ah tersenyum…
dan ketika si tamu itu berlalu, Sofyan At Tsauri, sahabat Robiah yang juga sedang berkunjung ke situ bertanya pada Robiah,”Benarkah orang itu benci kepada dunia?”
Robiah tersenyum dan berkata,”Bagaimana mungkin dia membenci dunia? yang ada di pikiran dan perasaannya hanyalah terisi dengan dunia dan urusannya”
Dzunnun al Mishri, satu waktu di datangi salah seorang muridnya,”ya Guru, kata muridnya, aku sudah beribadah kepada Tuhan selama 30 tahun yang menurutku aku juga sungguh2. Siang puasa, malah tahajud dan selain amalan wajib, yang sunnah2 juga aku kerjakan. tapi bukannya aku tidak puas dengan keadaanku, tetapi mengapakah tidak ada sedikitpun tanda2 yang datang dari Tuhan tentang apa yang telah aku lakukan ini?”
Dzunnun menjawab,”kalau begitu, nanti malam kamu makan yang banyak, dan jangan sholat isya”
Si murid agak heran juga mendengar saran gurunya, tapi ia mengangguk dan pulang.
Keesokan harinya, ia datang ke Dzunnun dan bercerita,
“Alhamdulillah guru, semalem saya mendapatkan tanda itu dari Allah swt, aku sudah menuruti saran guru untuk makan yang banyak, tetapi aku tidak tega untuk meninggalkan sholat wajib isya. Kemudian malam harinya, aku bermimpi di datangi oleh Rosulullah saw dan beliau bersabda,”wahai fulan, tenangkan hatimu, Allah mendengar, melihat dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Bersabarlah dan ikhlaslah.” dalam mimpi itu saya mengangguk, kemudian Rosulullah saw bersabda lagi,”Dan sampaikan pada Dzunnun Al Mishri bahwa Allah berpesan agar ia jangan menyarankan muridnya untuk tidak sholat isya”
Mendengar itu Dzunnun tertawa sampai keluar air matanya..
kemudian ia berkata,
“Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya”
Dan baru saja kemaren saya tertegun ketika membaca buku “Secret of Power Negotiating”, di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,”apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??” , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN…
Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya…
Seseorang bersyair..
“ya kekasih…dari pada engkau memalingkan wajahmu dariku, lebih baik, sakiti aku dan marahi aku dan bencilah aku…itu lebih baik..sebab kemarahanmu, dan kebencianmu, itu adalah salah satu bentuk kepedulianmu kepadaku”
hati seorang pecinta..
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai..
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya…
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya…
Wallahu a’lam.
  1.   KRITIK TERHADAP ETIKA KANT
Kritik dalam teori etika kant, saya rumuskan kedalam kelebihan dan kekurangan.  Jika dikatakan kelebihan, berati dalam hal ini saya setuju dengan beberapa prinsip yang terdapat di dalam etika Kant, dan dikatakan kelemahan jika menurut saya di dalamnya ada argumen kant yang kurang saya setujui.
kelebihan
  • Saya setuju dengan prinsip  imepratif kategoris Kant yang mengatakan : “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”. hal itu sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam agama. Bertindaklah sebagaimana kau juga ingin diperlakukan seperti itu. Janganlah kamu berbohong kepada orang lain jika kamu sendiri tidak ingin dibohongi orang lain. Sungguh prinsip ini sangat bernilai etik dan logis. Jika saja manusia menyadari akan prinsip ini mungkin tindakan kriminallitas dapat di minimalisasi atau bahkan tidak ada. Karena pada prinsipnya tidak ada orang yang mau dirugikan. Jika saja para pencuri menyadari akan hal ini, mungkin saja ia tidak akan melakukan tindak pencurian, karena dia sendiri juga tidak ingin barang-barangnya di curi oleh orang lain.
  • Saya juga setuju dengan prinsip good will yang dilandasi kewajiban yang mengatakan bertindaklah sesuai dengan kewajiban (duty). Prinsip ini sangat bernilai tinggi jika saja dapat diterapkan dalam beribadah. Semua orang dapat menjalani ibadah karena ibadah itu memang baik pada dirinya. Ia tidak lagi sholat karena semata-mata kewajiban yang di haruskan agama, tapi ia sholat karena ada otonomi kehendak dari dirinya sendiri  yang menganggap sholat itu baik hingga ia tergerak untuk melaksanakannya, tanpa keterpaksaan. Semua perbuatan baik dilakukan tanpa beban, tanpa mengharapkan konsekuensi pahala yang melimpah. Menurut saya inilah kelebihan dari etika Kant, sehingga bisa membuat semua orang melakukan tindakan dengan ikhlas.
Kekurangan
  • Dalam hal ini saya kurang setuju dengan penolakan Kant terhadap konsekuensi perbuatan. menurut saya, perlu juga kita memperhatikan konsekuensi dari perbuatan. Jujur memang baik, tapi ia juga harus disesuaikan pada tempatnya. Dalam agama islam, nyawa seseorang harus lebih di utamakan, bahkan kita dibolehkan memakan daging babi yang asalnya haram jika dalam kondisi terdesak, tak ada makanan lain selain daging babi, jika saya tidak makan daging ini maka saya akan mati. Begitu pula dalam hal ini kita boleh saya tidak berkata  jujur dalam keadaan terdesak. Misalnya saja kita berkata bohong demi keselamatan nyawa orangtua kita, menurut saya itu dibolehkan, sekali lagi karena saya merujuk kepada keselamatan nyawa seseorang yang memiliki nilai tertinggi daripda tindak berbohong itu sendiri. Jadi inilah kelemahan dari etika kant, kebenaran tidak selamanya absolut, tapi ia bisa saja relativ jika dihadapkan pada keadaan yang terdesak.


Imperatif Hipotesis dan Kategoris

Imperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) . perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.
Ada tigamacam perintah menurut Kant :
  1. Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan mengisi bensin terlebih dahulu
  2. Keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas polusi, seperti sepeda.
  3. Keharusan kategoris.misalnya selalu berkata jujur, meskipun dalam keadaan terdesak.

Keharusan 1 dan 2 adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artikan jika anda ingin menghendaki x maka saya harus melakukan y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu sendiri. Inilah yang disebut kant dengan “imperatif hipotesis”. Sedangkan keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini mengharuskan kita untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat niscaya yang disebut juga “imperatif ketegoris”.
Salah satu bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah “ betindaklah secara moral !” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan, melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”[4]
Maxim (prinsip subjektif)
Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap  dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap  dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Dimanapun kita berada itu tidak terlepas dari suatu tindakan. Jenis tindakan apa yang kita pilih disesuaikan dengan keadaan. Kita melakukan tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan suatu perkara karena memang ingin membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang lain, jadi maksim itu dapat baik dan juga tidak baik.
Oleh karena itu untuk mengetahui prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban  yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang , semua mahluk rasional yang ada di dunia. imperatif ini disebut juga prinsip penguniversalisalian. Ia adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia memang dapat diberlakukan kepada semua orang.
Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris:
  1. Hukum universal
Mengingat kedaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi “ bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjdi hukum alam umum”
  1.  Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri
Imperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “ bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai sarana.”
Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita juga pastinya berinteraksi dengan orang lain  (hablumminannaas) yang mana kita harus perlakukan manusia dengan baik.
  1. Berbuat seperti dalam kerajaan Tuhan
Imperatif kategorisnya berbunyi “ semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.”
Dari berbagai prinsip dan landasan etika kant yang disebutkan di atas, Menurut saya, inilah peta pemikiran etika Kant :










ETIKA IMMANUEL KANT

DEONTOLOGY KANT
A.  GAMBARAN/ KONSEP Immauel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. menurutnya pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisisme yang dilawankan dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis beliau yang sangat luar biasa sangat memberikan sumbangan besar bagi dunia pengetahuan.
Untuk memahami konsep pemikiran Immanuel Kant dalam etika, alangkah baiknya jika kita juga sudah mengetahui metode yang di pakai Kant, yakni murni a priori. a priori berarti sebelum pengalaman. Dalam artian ia  masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran orang lain baik berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi metode Kant adalah murni  deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap pengalaman empiris. sehingga dalam persoalan etika ini memnurutnya prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali. Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “ authonomi kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Dan ia adalah satu-satunya sumber moralitas.[1]
Kant juga membagi akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni)dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru  pemikiran Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya.
Etika yang digagas Immanuel Kant berbeda sekali dengan yang digagas oleh filosof sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang  ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebhagiaan. Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan.[2]

  1. B.  PRINSIP DAN LANDASAN
Dalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
  • Prinsip good will
  • Konsep kewajiban (duty)
  • Imperative hipotesis dan kategoris
  • Prinsip subjektif/ maxim
Good Will (kehendak baik) & kewajiban (duty)
Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar.
Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia  tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk melakukan kewajiban.
Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant. [3] selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang  dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu ia termasuk sintesis a priori.
Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang berlangsung ujian di kelas, ada temanmu yang pintar dan ia ingin membantumu menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan kertas jawaban. Jika kamu menolak atau mengabaikannya, berarti kamu melakukan tindakan yang benar/ right. Meskipun mungkin saja kamu menolak menerima jawaban itu karena takut ketahuan guru. Mencontek adalah perbutan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilaimu tinggi. Kehendak baik lah yang  akan mendorong kita untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa bantuan contekan dari orang lain.
Di awal dijelaskan bahwa  Immanuel Kant bukanlah seorang consequentalist , dalam artian ia tidak melihat konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten bukan konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang , kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas, meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik padahal di dapatkan dari perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya, melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban.



ETIKA

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam etika
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Moral dan Hukum
Hukum dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga membutuhkan hukum agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]

Selasa, 22 November 2016

SIAPA MANUSIA?

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)

Filsafat Hidup Rasululloh

Seorang muslim yang sejati adalah apabila ia telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai idola dalam hidupnya. Kita ikuti sikap dan tindak-tanduknya, demikian pula filsafat hidupnya harus diteladani.

Bagaimana filsafat hidup Rasulullah? Filsafat hidup adalah hal yang abstrak, yakni bagaimana seseorang memandang suatu persoalan hidup, cara memecahkan atau menyelesaikannya. Ada beberapa filsafat hidup yang dianut oleh manusia:

1. Pertama : Dalam hidup ini yang penting perut kenyang dan badan sehat.

2. Kedua : Dalam hidup ini mengikuti ke mana arah angin berhembus, angin berhembus ke Timur, ikut ke Timur, angin berhembus ke Barat, ikut ke Barat, suapaya selamat dan mendapatkan apa yang diinginkan.

3. Ketiga : Dalam hidup ini yang penting "GUE SENENG" masa bodoh dengan urusan orang lain.

4. Keempat : Dalam hidup ini harus baik di dunia dan baik di akhirat.

Sebagai muslim sudah selayaknya kita berfilsafat sebagaimana filsafat hidup Rasulullah SAW.



Filsafat hidup Rasulullah adalah sebagai berikut :

1. Pertama : Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat. "Wahai Rasulullah, bagaimana kriteria orang yang baik itu? Rasulullah menjawab:

Yang artinya: "Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain".

Jika ia seorang hartawan, hartanya tidak dinikmati sendiri, tapi dinikmati pula oleh tetangga, sanak famili dan juga didermakan untuk kepentingan masyarakat dan agama. Inilah ciri-ciri orang yang baik. Jika berilmu, ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Jika berpangkat, dijadikannya sebagai tempat bernaung orang-orang disekitarnya dan jika tanda tangannya berharga maka digunakan untuk kepentingan masyarakat dan agama, tidak hanya mementingkan diri dan golongannya sendiri.

Pokoknya segala kemampuan/potensi hidupnya dapat dinikmati orang lain, dengan kata lain orang baik adalah orang yang dapat memfungsikan dirinya ditengah-tengah masyarakat dan bermanfaat.

Sebaliknya kalau ada orang yang tidak bisa memberi manfaat untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya bahkan segala kenikmatan hanya dinikmatinya sendiri, berarti orang itu jelek. Adanya orang seperti itu tidak merubah keadaan dan perginyapun tidak merugikan masyarakat.

Jadi filsafat hidup Rasulullah SAW menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita sebagai manusia untuk memegang filsafat hidup. Orang yang hanya menanam rumput untuk makanan ternak ia akan mendapatkan rumput tapi padinya tidak dapat, sebaliknya orang yang menanam padi, ia akan mendapatkan padi dan sekaligus mendapatkan rumput, karena rumput tanpa ditanam akan tumbuh sendiri. Begitu juga dengan kita yang hidup ini, kalau niat dan motivasinya sekedar mencari rumput (uang) iapun akan memperolehnya, tetapi tidak dapat padinya atau tidak akan memperoleh nilai ibadah dari seluruh pekerjaannya.

Oleh karena itu dalam menjalankan kehidupan, niatkan untuk ibadah dengan suatu keyakinan bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita, kita yakini sebagai tempat mengabdi kepada Nusa, Bangsa dan Negara, dan sebagai upaya menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian maka setiap hendak berangkat ke tempat bekerja berniatlah beribadah, Insya Allah seluruh pekerjaan kita akan bernilai ibadah, dan mendapatkan pahala.

Alangkah ruginya orang yang hidup ini niatnya hanya mencari "rumput" walau hal itu penting, tetapi kalau niatnya hanya itu saja, orang tersebut termasuk orang yang rugi, karena ia tidak akan mendapatkan nilai ibadah dari pekerjaannya.

Yang namanya ibadah bukan hanya shalat, zakat, puasa atau membaca Al-Qur'an saja, tetapi bekerja, mengabdi kepada masyarakat, Negara dan Bangsa dengan niat Lillahi Ta'ala ataupun ibadah. Hal ini penting untuk diketahui, karena ada yang berfilsafat: Kalau ada duitnya baru mau kerja, kalau tidak ada duitnya malas bekerja.



2. Kedua : Rasul pernah ditanya, wahai Rasulullah! Orang yang paling baik itu yang bagaimana? Rasul menjawab :

Yang artinya : "Sebaik-baiknya diantara kamu ialah orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya".

Sudah barang tentu orang yang semacamn ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya kalau ada orang yang amalnya baik tapi umurnya pendek masyarakat akan merasa kehilangan. Rasulullah juga mengatakan,"Seburuk-buruknya manusia yaitu mereka yang panjang umurnya tapi jelek perbuatannya".

Jadi sebenarnya kalau ada orang semacam itu mendingan umurnya pendek saja, supaya masyarakat sekitarnya tidak banyak menderita dan agar ia tidak terlalu berat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya itulah orang yang baik.

Permasalahannya sekarang bagaimana agar kita mendapat umur yang panjang. Sementara orang ragu, bukankah Allah telah menentukan umur seseorang sebelum lahir? Pernyataan ini memang benar, tapi jangan lupa Allah adalah Maha Kuasa menentukan umur yang dikehendaki-Nya.

Adapun resep agar umur panjang sebagaimana resep Rasulullah :

Secara lahiriyah, kita semua sependapat untuk hidup sehat, harus hidup teratur, makan yang bergizi serta menjaga kondisi dengan berolahraga yang teratur.

Secara spiritual orang yang ini panjang umur ada dua resepnya:

1. Pertama : Suka bersedekah yakni melepaskan sebahagian hartanya di jalan Allah untuk kepentingan masyarakat, anak yatim, fakir miskin maupun untuk kepentingan agama. Dengan kata lain orang yang kikir atau bakhil sangat mungkin umurnya pendek.

2. Kedua : Suka silahturahmi, Silah berarti hubungan dan rahmi berati kasih sayang, jadi suka mengakrabkan hubungan kasih sayang dengan sesama, saling kunjung atau dengan saling kirim salam.

Sementara para ahli tafsir menyatakan sekalipun bukan umur itu yang bertambah misalnya 60 tahun, karena sering silahturahmi meningkat menjadi 62 tahun, banyak sedekahnya menjadi 65 tahun. Kalau bukan umurnya yang bertambah, setidak-tidaknya berkah umur itu yang bertambah. Umurnya tetap tapi kualitas dari umur itu yang bertambah.



3. Ketiga : Rasul pernah ditanya, orang yang paling beruntung itu yang bagaimana? Rasul Menjawab :

Yang artinya : "Barang siapa yang keadaannya hari ini kualitas hidupnya lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang beruntung".

Kalau kita bandingkan dengan tahun kemarin, ilmu dan ibadahnya, dedikasinya, etos kerja, disiplin kerja meningkat, dan akhlaknya semakin baik, orang tersebut adalah orang yang beruntung. Dengan kata lain filsafat hidup Rasulullah yang ketiga adalah "Tiada hari tanpa peningkatan kualitas hidup".

Pernyataan Rasul yang kedua :

Yang artinya: "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang rugi".

Jika amalnya, akhlaknya, ibadahnya, kedisplinannya dan dedikasinya tidak naik dan juga tidak turun maka orang tersebut termasuk orang yang merugi.

Sementara orang bertanya: Kenapa dikatakan rugi padahal segala-galanya tidak merosot? Bagaimana dikatakan tidak rugi, mata sudah bertambah kabur, uban sudah bertabu, giginya sudah pada gugur dan sudah lebih dekat dengan kubur, amalnya tidak juga bertambah, kualitas hidup tidak bertambah maka ia adalah rugi. Dan Rasul mengatakan selanjutnya :

Yang artinya : "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka orang semacam itu dilaknat oleh Allah".

Oleh karena itu pilihan kita tidak ada lain kecuali yang pertama, yakni tidak ada hari tanpa peningkatan kualitas hidup. Sebagai umat Islam, kedispilinan, dedikasi, kepandaian, kecerdasan, keterampilan harus kita tingkatkan, agar kita termasuk orang yang beruntung.



4. Keempat : Rasul pernah ditanya : "Wahai Rasulullah! Suami dan isteri yang paling baik itu bagaimana? Rasul menjawab : "Suami yang paling baik adalah suami yang sikap dan ucapannya selalu lembut terhadap isterinya, tidak pernah bicara kasar, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyakiti perasaan isterinya, tetap menghormati dan menghargai isterinya.

Sebab ada sikap seorang suami yang suka mengungkit-ungkit segala kekurangan isterinya, sehingga dapat menyinggung perasaannya, yang demikian termasuk suami yang tidak baik biarpun keren dan uangnya banyak. Hakekatnya suami yang tidak baik yaitu suami yang kasar terhadap isterinya. Dan seorang laki-laki yang mulia ialah yang bisa memuliakan kaum wanita, tidak suka menyepelekan. Sampai-sampai Rasul masih membela kepada kaum wanita beberapa saat sebelum Beliau wafat. Beliau sempat berpesan: "Aku titipkan nasib kaum wanita kepadamu". Diulangnya tiga kali. Karena kaum wanita kedudukannya serba lemah. Jadi kalau seoarang suami memiliki akhlak yang tidak baik maka penderitaan sang isteri luar biasa. Hal ini perlu kita ingat karena segala sukses yang dicapai oleh sang suami pada hakekatnya adalah karena andil sang isteri. Demikian juga andil isteri yang membantu mencarikan nafkah.



5. Kelima : Rasul pernah ditanya, "Wahai Rasulullah! Orang yang benar itu yang bagaimana? Rasul menjawab,"Apabila dia berbuat salah segera bertaubat, kembali kepada jalan yang benar. Oleh karena itu para filosof mengatakan, "Orang yang benar adalah bukan orang yang tak pernah melakukan kesalahan, tapi orang yang benar adalah mereka yang sanggup mengendalikan diri dari perbuatan yang terlarang dan bila terlanjur melakukannya, ia memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan yang salah itu. Ibarat anak sekolah mengerjakan soal, kalau salah tidak jadi masalah, asal setelah dikoreksi tidak mengulangi kesalahannya. Sampai-sampai ada ungkapan yang tidak enak didengar tapi benar menurut tuntunan Islam, yaitu: Bekas maling itu lebih baik dari pada bekas santri. Kita tahu bahwa santri adalah orang yang taat beragama, sedangkan maling penjahat, pemerkosa, dan sebagainya tapi setelah bertaubat menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang benar. Orang yang demikian matinya menjadi khusnul khotimah. Memang yang ideal, orang yang baik itu dari muda sampai tua baik terus, tapi hal itu jarang.

Kesalahan yang sudah terlanjur, selama masih mau bertaubat tidak jadi masalah. Oleh karena itu, segala hukuman, seperti hukuman administrasi dalam kepegawaian, selalu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Apakah kesalahannya tidak bisa ditolerir, apakah orang tersebut perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya atau tidak. Apakah kesalahannya terpaksa atau karena kebodohannya? Maka berbagai pertimbangan perlu dilakukan sehingga ada kesempatan bagi orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, agar dia bisa kembali menjadi orang yang baik. Nabi Muhammad SAW bersabda :

Yang artinya: "Walaupun engkau pernah melakukan kesalahan sehingga langit ini penuh dengan dosamu, asal saja kamu bertaubat, pasti akan terima oleh Allah".



6. Keenam : Suka memberi. Sabda Nabi :

Yang artinya : "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah".

Orang yang suka memberi, martabatnya lebih terhormat daripada orang yang suka menerima. Allah berfirman :

Yang artinya : "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 261)

Tidak ada orang yang suka sedekah, kemudian jatuh miskin. Umumnya yang jatuh miskin karena suka judi, togel, dan minuman keras. Dan resep kaya menurut Islam adalah kerja keras, hidup hemat, dan suka sedekah.



7. Ketujuh : Rasul pernah ditanya oleh para sahabat : "Wahai Rasul! Si pulan itu orang yang luar biasa hebatnya. Dia selalu berada dalam masjid, siang malam melakukan shalat, puasa, I'tikaf, berdo'a. Kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, "Apakah orang itu punya keluarga?" Sahabat menjawab, "Punya Ya Rasul". Kata Rasul : "Orang tersebut adalah orang yang tidak baik!. Saya ini suka ibadah tapi disamping itu sebagai seorang suami, berusaha mencari nafkah. Sampai Rasul menyatakan : " Tergolong tidak baik orang yang hanya mementingkan urusan ukhrawi tetapi melalaikan urusan dunia".

Juga tidak benar orang yang hanya mementingkan urusan duniawi tapi melalaikan urusan ukhrawi. Yang paling baik adalah seimbang antara kepentingan duniawi dengan kepentingan ukhrowi dan tidak berat sebelah.


SUMUR THALES
                                  Dunia dalam Setitik Air
Dimusim panas 1999, Universitas Cornell menerbitkan riset yang isi pokonya adalah menunjukan jika cinta sungguh merupakan obat-obatan. Pesisnya, ia adalah campuran dari dopamine, feniletilamin dan oksitosin di aliran darah yang mampu menghasilkan sensasi yang sering kita sebut ‘tergila-gila’. Cinta, kata para peneliti, pada kenyataanya merupakan bentuk kegilaan yang terinduksi secara kimiawi. Kondisi ini bertahan terus sampai tubuh membangun sebuah kekebalan terhadap substansi-substansi yang terlibat yang biasanya hanya dibangun dari pertemuan, kencan, dan membesarkan anak di masa alanya. Cinta, seperti yang kita rasakan adalah hal terpenting yang dapat terjadi pada diri seseorang dan seharusnya ditempatkan sebagai landasan, jadi bukannya dalam sepucuk jarum suntik yang diinjeksikan kepada mereka yang kekurangan cinta. Kesimpulan-kesimpulan dari Universitas Cornell ini didasarkan pada prinsip ‘reduksionisme’ : pemikiran yang menganggap segala sesuatu dapat dipahami dengan cara mesmisah-misahkan komponen-komponen penyususnannya atau bahwa proses-proses komplek dan berskala besar dapat diphami dalam istilah –istilah yang lebih sederhana. Penelitian dapat menjadi using, cepat dan lambat.namun jika ia dapat bertahan,maka ini bukan pertama kalinya ilusi-ilusi kita mulai dihalau oleh pemikiran yang reduksionistik.